medcom.id, Jakarta: penutupan situs-situs yang dicurigai menyebarkan paham radikalisme dinilai tindakan yang terburu-buru dan dapat memicu prasangka buruk. Sebab, penutupan tersebut dilakukan secara sepihak.
"Kalau langsung ditutup, kesannya pemerintah sangat otoriter. Tidak ada ruang diskusi dan klarifikasi. Yang sedikit berbeda, langsung dibungkam," kata Ketua Komisi VIII DPR, Saleh Partaonan Daulay, melalui keterangan tertulisnya kepada Metrotvnews.com, Selasa (31/3/2015).
Menurut Saleh, sikap pemerintah itu berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga di tengah masyarakat. Sebab, penutupan situs-situs dilakukan tanpa didahului upaya klarifikasi.
Saleh menambahkan, sebelum ditutup, seharusnya para pemilik situs tersebut dipanggil terlebih dahulu untuk dimintai keterangan. “Apabila nantinya ditemukan hal yang berbahaya, baru dilakukan tindakan pemblokiran,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah belum menetapkan standar rujukan dalam mengidentifikasi situs-situs penyebar paham radikalisme. Dikhawatirkan, tanpa standar dan pengertian yang jelas, akan banyak situs yang diblokir.
Tindakan itu bisa mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh UU. Selain itu, pemblokiran situs-situs tersebut menimbulkan kesan adanya sikap prasangka buruk terhadap suatu agama.
"Menurut saya, tidak semua situs yang diblokir itu menyebarkan paham radikalisme. Ada di antaranya yang betul-betul dipergunakan sebagai media dakwah. Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir," tegasnya.
medcom.id, Jakarta: penutupan situs-situs yang dicurigai menyebarkan paham radikalisme dinilai tindakan yang terburu-buru dan dapat memicu prasangka buruk. Sebab, penutupan tersebut dilakukan secara sepihak.
"Kalau langsung ditutup, kesannya pemerintah sangat otoriter. Tidak ada ruang diskusi dan klarifikasi. Yang sedikit berbeda, langsung dibungkam," kata Ketua Komisi VIII DPR, Saleh Partaonan Daulay, melalui keterangan tertulisnya kepada
Metrotvnews.com, Selasa (31/3/2015).
Menurut Saleh, sikap pemerintah itu berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga di tengah masyarakat. Sebab, penutupan situs-situs dilakukan tanpa didahului upaya klarifikasi.
Saleh menambahkan, sebelum ditutup, seharusnya para pemilik situs tersebut dipanggil terlebih dahulu untuk dimintai keterangan. “Apabila nantinya ditemukan hal yang berbahaya, baru dilakukan tindakan pemblokiran,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah belum menetapkan standar rujukan dalam mengidentifikasi situs-situs penyebar paham radikalisme. Dikhawatirkan, tanpa standar dan pengertian yang jelas, akan banyak situs yang diblokir.
Tindakan itu bisa mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh UU. Selain itu, pemblokiran situs-situs tersebut menimbulkan kesan adanya sikap prasangka buruk terhadap suatu agama.
"Menurut saya, tidak semua situs yang diblokir itu menyebarkan paham radikalisme. Ada di antaranya yang betul-betul dipergunakan sebagai media dakwah. Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)