Ilustrasi: Medcom
Ilustrasi: Medcom

Audit BPK 2017 Disebut Langgar Asas Asersi

Juven Martua Sitompul • 14 Agustus 2018 16:47
Jakarta: Guru besar hukum administrasi negara dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, I Gde Pantja Astawa menyoroti audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurutnya, pemeriksaan BPK seharusnya mengonfirmasi pihak yang diperiksa sesuai asas asersi.
 
Pantja menyatakan hal ini saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang perkara dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Senin, 13 Agustus 2018.
 
Anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK ini menambahkan, dalam satu pemeriksaan sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK, karena harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK.

Kedua, pemeriksaan juga harus memperhatikan dan menjadikan standar pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN). 
 
Dan ketiga, harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, kata dia, mewajibkan pemeriksa, yakni auditor, memeriksa entitas yang diperiksa. Selain itu, yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK.
 
"Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur di Pasal 6 Ayat (5) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Jadi, kalau tiga hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum," ujarnya.
 
Adu argumen dengan Yusril
 
Dalam persidangan, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum terdakwa Syafruddin sempat menanyakan poin 17 pedoman pemeriksaan BPK, yakni orang yang diperiksa harus dimintai tanggapan. Namun, kata Pantja, di poin 19 disebutkan kalau terkait kerugian keuangan negara maka tidak perlu dimintai tanggapan tertulis.
 
Pantja menyatakan semua kembali ke asas asersi. Alasannya, kedudukan pedoman BPK lebih rendah dari UU BPK. Pertama, peraturan yang diterbitkan BPK yang notabene itu berlaku internal dengan logika hukum.
 
"Kedua, mungkin satu pemeriksaan apa pun jenisnya, pemeriksaan itu sekurang-kurangnya ada tiga unsur, yakni ada yang memeriksa, ada entitas yang diperiksa, dan ada pengguna LHP. Laporan investigasi ini tidak ada entitas yang diperiksa. Di mana logikanya kalau BPK sendiri tidak berpegang pada norma UU," ucap dia.
 
Baca: Di Persimpangan Kasus BLBI
 
Pantja memperkuat argumennya dengan mengutip Pasal 6 ayat 5 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yaitu dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK membahas atas pemeriksaan dengan obyek yang diperiksa.
 
Sedangkan dalam norma UU, dia mengaitkannya dengan Pasal 16 Ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Bunyinya, tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, simpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan pemeriksaan.
 
"Norma UU katakan begitu, tapi saya tidak katakan SPK itu salah. Saya tidak dalam posisi menilai. Ini saya katakan, ini UU," paparnya.
 
Tak sampai di situ, Yusril kembali mempertanyakan soal audit terkait SKL BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang diduga diambil dari penyidik KPK. Dalam audit investigasi 2017 itu tidak ada entitas yang diperiksa. Yang diperiksa sebatas bahan dari penyidik KPK dan laporan hasil audit tersebut dipergunakan sebagai dasar dakwaan terhadap SAT.
 
"Di mana independensi hasil audit ini?" tanya Yusril.
 
Menjawab pertanyaan itu, Panjta tetap berpegangan pada norma dan Pasal 31 Ayat (1) UU tentang BPK yakni BPK dan/atau pemeriksa menjalankan tugas pemeriksaan secara bebas dan mandiri.
 
"Karena marwah BPK itu ada tiga yaitu independen, integritas, dan profesional. Itu jawaban saya. Silakan dinilai," jawab dia.
Audit BPK 2017 Disebut Langgar Asas Asersi
Teori melebur
 
Pada persidangan itu juga, Panjta menjelaskan teori melebur. Dia mengatakan pada saat krisis moneter yang berdampak pada perbankan, ada suatu kondisi yang tidak normal, yang perlu ditangani secara cepat. 
 
Pada saat itu, kata dia, pemerintah mengambil satu tindakan atau keputusan yang bersifat administratif berupa penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan (out of court settlement).
 
Bentuk dari tindakan administratif tersebut adalah Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) berupa MSAA, MRNIA, atau APU yang merupakan perjanjian keperdataan. Maka, kata dia, etika satu institusi pemerintahan yang akan masuk ke ranah perdata, selalu didahului dengan satu tindakan atau keputusan yang bersifat administratif.
 
Menurutnya, keputusan atau tindakan yang bersifat administratif untuk menempuh penyelesaian perkara di luar pengadilan itu melebur ke dalam tindakan keperdataan. Dalam hal ini posisi pemerintah menjadi sejajar dengan pihak lain dalam perjanjian yang berujung kepada penerbitan SKL. Ia menyatakan jika itu ranah keperdataan. Jadi, penyelesaiannya pun harus penyelesaian keperdataan.
 
"Dalam hal ini dia mewakili jabatan. Tapi manakala dia bertindak di ranah keperdataan yang tunduk pada hukum keperdataan, dia dan/atau institusi yang diwakili memiliki posisi equal, harus melebur ke dalam ranah keperdataan," kata Pantja.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan