medcom.id, Jakarta: Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan lebih dari 50 persen kekerasan seksual tidak selesai di tahap penyelidikan. Pasalnya, tak sedikit korban enggan bicara saat dimintai keterangan.
Ia juga mengkritik sikap Kepolisian yang kerap meminta barang bukti berupa pakaian dalam korban yang memiliki bercak sperma. Padahal, banyak korban baru melaporkan kekerasan yang dialaminya setelah berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan.
"Polisi sering kali meminta barang bukti itu. Lalu bagaimana kalau pakaian dalamnya sudah dicuci? Apa kasus itu lantas dibiarkan?" Kata Erlinda dalam acara diskusi kelompok terarah terkait kekerasan seksual bersama Mabes Polri, Jalan Suryo, Jakarta Selatan, Jumat (27/5/2016).
Menurut dia, korban kekerasan seksual mengalami trauma yang menyebabkan takut bertemu atau berbicara pada orang lain, termasuk polisi. Hal itu membuat polisi sulit menggali informasi lebih dalam.
Walhasil, Kepolisian tidak bisa menindak lanjuti kasus tersebut. Kadang, korban malah dianggap hanya mengarang cerita.
"Anak-anak di bawah lima tahun ini sangat labil. Mereka takut, malu, dan lelah ditanya banyak orang. Bagaimana dia mau cerita, kadang. Bicara saja masih susah," tutur Erlinda.
Dia menilai, tidak semua polisi peka terhadap anak. Ia berharap, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan mendapat cepat ditangani.
Di lain pihak, Presiden Joko Widodo baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU 23 Tahun 2002, Rabu 25 Mei. Perppu berisi sanksi tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Predator seksual sesuai perppu ini dapat dipidana mati, pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 10 hingga 20 tahun. Terdapat pula pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebut Perppu memberi ruang seluas-luasnya bagi hakim menjatuhkan hukuman kepada penjahat seksual. Namun, hakim tak akan sembarangan menjatuhkan sanksi kebiri.
Sanksi kebiri hanya akan diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan berulang dan bergerombol. Hakim juga bisa memilih apakah memberi hukuman kebiri kimia atau memasang alat deteksi elektronik.
Hakim juga bisa memberi dua hukuman itu sekaligus. Perppu tak berlaku surut. Perppu juga hanya diperuntukkan bagi pelaku dewasa.
medcom.id, Jakarta: Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan lebih dari 50 persen kekerasan seksual tidak selesai di tahap penyelidikan. Pasalnya, tak sedikit korban enggan bicara saat dimintai keterangan.
Ia juga mengkritik sikap Kepolisian yang kerap meminta barang bukti berupa pakaian dalam korban yang memiliki bercak sperma. Padahal, banyak korban baru melaporkan kekerasan yang dialaminya setelah berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan.
"Polisi sering kali meminta barang bukti itu. Lalu bagaimana kalau pakaian dalamnya sudah dicuci? Apa kasus itu lantas dibiarkan?" Kata Erlinda dalam acara diskusi kelompok terarah terkait kekerasan seksual bersama Mabes Polri, Jalan Suryo, Jakarta Selatan, Jumat (27/5/2016).
Menurut dia, korban kekerasan seksual mengalami trauma yang menyebabkan takut bertemu atau berbicara pada orang lain, termasuk polisi. Hal itu membuat polisi sulit menggali informasi lebih dalam.
Walhasil, Kepolisian tidak bisa menindak lanjuti kasus tersebut. Kadang, korban malah dianggap hanya mengarang cerita.
"Anak-anak di bawah lima tahun ini sangat labil. Mereka takut, malu, dan lelah ditanya banyak orang. Bagaimana dia mau cerita, kadang. Bicara saja masih susah," tutur Erlinda.
Dia menilai, tidak semua polisi peka terhadap anak. Ia berharap, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan mendapat cepat ditangani.
Di lain pihak, Presiden Joko Widodo baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU 23 Tahun 2002, Rabu 25 Mei. Perppu berisi sanksi tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Predator seksual sesuai perppu ini dapat dipidana mati, pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 10 hingga 20 tahun. Terdapat pula pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebut Perppu memberi ruang seluas-luasnya bagi hakim menjatuhkan hukuman kepada penjahat seksual. Namun, hakim tak akan sembarangan menjatuhkan sanksi kebiri.
Sanksi kebiri hanya akan diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan berulang dan bergerombol. Hakim juga bisa memilih apakah memberi hukuman kebiri kimia atau memasang alat deteksi elektronik.
Hakim juga bisa memberi dua hukuman itu sekaligus. Perppu tak berlaku surut. Perppu juga hanya diperuntukkan bagi pelaku dewasa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)