medcom.id, Jakarta: Pengaduan Konstitusional atau lebih dikenal dengan constitutional complain sudah dipraktekan di beberapa negara oleh Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain Spanyol, Jerman, dan Korea Selatan. MKRI sebagai tuan rumah pertemuan Dewan Anggota Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia (AACC) menggelar pertemuan serta simposium internasional terkait pengaduan konstitusional tersebut.
"Harapan besarnya kita yang paling penting itu adalah bertukar pikiran dengan negara-negara yang hadir jadi pembicara. Kita juga mempresentasikannya melalui desertasinya Pak Gede Palguna mengenai konstitusional komplain," kata Ketua MK sekaligus Presiden AACC Arief Hidayat di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Menurut Arief, di negara-negara hukum yang demokratis, pengaduan konstitusional sudah diterapkan. Tujuannya demi menjaga hak-hak konstitusional dan hak asasi warga negara.
Sayangnya, MKRI belum mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional. Tapi saat pengujian undang-undang (Judicial Review), terdapat beberapa gugatan yang masuk semi pengaduan konstitusional.
Tren pengajuan gugatan yang tergolong pengaduan konstitusional terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini merupakan tanda adanya kebutuhan kewenangan menangani peraka pengaduan konstitusional.
“Kalau di MK negara lain ada kewenangan khusus. Sehingga bila terjadi kasus konkrit yang dialami warga negara, dapat dilakukan pengaduan konstitusional,” kata Arief.
Arief mencontohkan, di Turki ada larangan advokat perempuan menggunakan jilbab dalam persidangan. Kemudian terjadi kasus pengusiran.
Kasus itu diadukan oleh sebagian dari mereka yang mengenakan jilbab ke mahkamah konstitusi Turki karena itu merupakan hak asasi warga negara. Akhirnya diputuskan oleh MK Turki bahwa penggunaan jilbab diperbolehkan.
Kasus konkrit yang tergolong pengaduan konstitusional di Indonesia, salah satunya berhubungungan dengan penyelengaraan pemilu. UU menyatakan, yang boleh memilih adalah warga Negara yang telah berusia 17 tahun. Tapi praktiknya ada persyaratan administratif yang mengharuskan warga negara terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Ada gugatan pengujian undang-undang soal itu. Akhirnya diputuskan pemilih bisa menggunakan Kartu Tanda Penduduk tanpa harus masuk dalam DPT. Gugatan seperti itu tergolong pengaduan konstitusional,” terang Arief.
Oleh karena itu, simposium MKRI berusaha mempelajari dan membahas lebih jauh penanganan pengaduan konstitusional dari berbagai negara. Terdapat tiga tema yang akan dibahas perihal konstitusional complain, yaitu pengaduan konstitusional.
medcom.id, Jakarta: Pengaduan Konstitusional atau lebih dikenal dengan
constitutional complain sudah dipraktekan di beberapa negara oleh Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain Spanyol, Jerman, dan Korea Selatan. MKRI sebagai tuan rumah pertemuan Dewan Anggota Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia (AACC) menggelar pertemuan serta simposium internasional terkait pengaduan konstitusional tersebut.
"Harapan besarnya kita yang paling penting itu adalah bertukar pikiran dengan negara-negara yang hadir jadi pembicara. Kita juga mempresentasikannya melalui desertasinya Pak Gede Palguna mengenai konstitusional komplain," kata Ketua MK sekaligus Presiden AACC Arief Hidayat di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Menurut Arief, di negara-negara hukum yang demokratis, pengaduan konstitusional sudah diterapkan. Tujuannya demi menjaga hak-hak konstitusional dan hak asasi warga negara.
Sayangnya, MKRI belum mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional. Tapi saat pengujian undang-undang (
Judicial Review), terdapat beberapa gugatan yang masuk semi pengaduan konstitusional.
Tren pengajuan gugatan yang tergolong pengaduan konstitusional terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini merupakan tanda adanya kebutuhan kewenangan menangani peraka pengaduan konstitusional.
“Kalau di MK negara lain ada kewenangan khusus. Sehingga bila terjadi kasus konkrit yang dialami warga negara, dapat dilakukan pengaduan konstitusional,” kata Arief.
Arief mencontohkan, di Turki ada larangan advokat perempuan menggunakan jilbab dalam persidangan. Kemudian terjadi kasus pengusiran.
Kasus itu diadukan oleh sebagian dari mereka yang mengenakan jilbab ke mahkamah konstitusi Turki karena itu merupakan hak asasi warga negara. Akhirnya diputuskan oleh MK Turki bahwa penggunaan jilbab diperbolehkan.
Kasus konkrit yang tergolong pengaduan konstitusional di Indonesia, salah satunya berhubungungan dengan penyelengaraan pemilu. UU menyatakan, yang boleh memilih adalah warga Negara yang telah berusia 17 tahun. Tapi praktiknya ada persyaratan administratif yang mengharuskan warga negara terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Ada gugatan pengujian undang-undang soal itu. Akhirnya diputuskan pemilih bisa menggunakan Kartu Tanda Penduduk tanpa harus masuk dalam DPT. Gugatan seperti itu tergolong pengaduan konstitusional,” terang Arief.
Oleh karena itu, simposium MKRI berusaha mempelajari dan membahas lebih jauh penanganan pengaduan konstitusional dari berbagai negara. Terdapat tiga tema yang akan dibahas perihal konstitusional complain, yaitu pengaduan konstitusional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)