Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan jawaban atas gugatan praperadilan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Semua poin dalam gugatan Romi dinilai keliru.
Salah satunya, gugatan Romi atas penyelidikan kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang dilakukan KPK sebelum operasi tangkap tangan (OTT). Menurut KPK, penyelidikan tidak bisa dimasukkan dalam poin gugatan praperadilan.
KUHAP ataupun Putusan MK dan Perma 4 Tahun 2016 jelas mengatur ruang lingkup praperadilan secara limitatif, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
"Proses penyelidikan tidak masuk ruang lingkup praperadilan ini pun telah ditegaskan pada sejumlah putusan praperadilan," kata Febri mengutip poin jawaban biro hukum KPK atas gugatan Romi, Jakarta, Selasa, 7 Mei 2019.
Lembaga Antirasuah juga menganggap gugatan Romi, dan tim hukumnya terkait kewenangan KPK dalam menangani perkara dari nilai kerugian negara tidak masuk akal. Romi dan tim hukumnya menyebut kerugian uang negara atas kasus itu tidak mencapai Rp1 miliar.
"KPK memandang semestinya hal sederhana ini dapat dipahami bahwa Pasal yang dikenakan terhadap pemohon memang bukan Pasal tentang kerugian keuangan negara. Dan Pasal 2 atau 3 yang mengatur tentang korupsi dengan kerugian keuangan negara hanyalah salah satu jenis TPK diantara 7 jenis korupsi yang diatur di UU Tipikor tersebut," kata Febri.
Selanjutnya, gugatan Romi yang meminta rehabilitasi saat menjalani proses penyidikan. KPK menilai permintaan itu konyol, mengingat pada Pasal 97 KUHAP rehabilitasi bisa diminta jika diputus bebas, lepas di pengadilan saat putusan berkekuatan hukum tetap, atau dalam hal penangkapan, atau penahanan jika perkara tidak diajukan ke pengadilan negeri.
"Sementara saat ini proses penyidikan sudah berjalan, dan jika seluruh tahapan dan kebutuhan penyidikan selesai, perkara akan dilimpahkan ke penuntutan dan pengadilan," kata Febri.
KPK menegaskan penetapan tersangka terhadap Romi berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Termasuk, bukti penyadapan dan permintaan keterangan, serta bukti lain yang dilakukan dalam proses penyelidikan.
"UU KPK bersifat lex specialis karena mengatur secara khusus di Pasal 44 UU KPK yang kurang lebih menegaskan bahwa penyidikan dapat dilakukan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup," ucap dia.
Atas hal tersebut, kata Febri, KPK berkesimpulan seluruh dalil pemohon jelas keliru dan sepatutnya ditolak PN Jaksel. Komisi Antikorupsi yakin PN Jaksel akan memutus gugatan Romi dengan profesional.
"KPK menghormati dan yakin hakim praperadilan ini akan menyidangkan perkara dengan independen dan imparsial, sehingga nantinya akan dihasilkan putusan yang sebaik-baiknya," pungkasnya.
Tim hukum Romi sebelumnya menyampaikan poin-poin gugatan kliennya pada sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam poin gugatannya, Romi melalui kuasa hukumnya menilai penangkapan hingga penetapan tersangka janggal.
Tim hukum beserta Romi juga menuding jika KPK telah melakukan penyadapan sebelum penyelidikan dilakukan. Sehingga, tindakan KPK dianggap tak memiliki landasan hukum.
KPK menetapkan Romi sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kemenag. Romi disinyalir mengatur jabatan di Kemenag pusat dan daerah.
Romi diduga menerima suap dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin. Suap diberikan agar Romi mengatur proses seleksi jabatan untuk kedua penyuap tersebut.
Romi selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b ayat (1) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin selaku penyuap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muafaq juga dijerat Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan jawaban atas gugatan praperadilan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Semua poin dalam gugatan Romi dinilai keliru.
Salah satunya, gugatan Romi atas penyelidikan kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang dilakukan KPK sebelum operasi tangkap tangan (OTT). Menurut KPK, penyelidikan tidak bisa dimasukkan dalam poin gugatan praperadilan.
KUHAP ataupun Putusan MK dan Perma 4 Tahun 2016 jelas mengatur ruang lingkup praperadilan secara limitatif, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
"Proses penyelidikan tidak masuk ruang lingkup praperadilan ini pun telah ditegaskan pada sejumlah putusan praperadilan," kata Febri mengutip poin jawaban biro hukum KPK atas gugatan Romi, Jakarta, Selasa, 7 Mei 2019.
Lembaga Antirasuah juga menganggap gugatan Romi, dan tim hukumnya terkait kewenangan KPK dalam menangani perkara dari nilai kerugian negara tidak masuk akal. Romi dan tim hukumnya menyebut kerugian uang negara atas kasus itu tidak mencapai Rp1 miliar.
"KPK memandang semestinya hal sederhana ini dapat dipahami bahwa Pasal yang dikenakan terhadap pemohon memang bukan Pasal tentang kerugian keuangan negara. Dan Pasal 2 atau 3 yang mengatur tentang korupsi dengan kerugian keuangan negara hanyalah salah satu jenis TPK diantara 7 jenis korupsi yang diatur di UU Tipikor tersebut," kata Febri.
Selanjutnya, gugatan Romi yang meminta rehabilitasi saat menjalani proses penyidikan. KPK menilai permintaan itu konyol, mengingat pada Pasal 97 KUHAP rehabilitasi bisa diminta jika diputus bebas, lepas di pengadilan saat putusan berkekuatan hukum tetap, atau dalam hal penangkapan, atau penahanan jika perkara tidak diajukan ke pengadilan negeri.
"Sementara saat ini proses penyidikan sudah berjalan, dan jika seluruh tahapan dan kebutuhan penyidikan selesai, perkara akan dilimpahkan ke penuntutan dan pengadilan," kata Febri.
KPK menegaskan penetapan tersangka terhadap Romi berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Termasuk, bukti penyadapan dan permintaan keterangan, serta bukti lain yang dilakukan dalam proses penyelidikan.
"UU KPK bersifat lex specialis karena mengatur secara khusus di Pasal 44 UU KPK yang kurang lebih menegaskan bahwa penyidikan dapat dilakukan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup," ucap dia.
Atas hal tersebut, kata Febri, KPK berkesimpulan seluruh dalil pemohon jelas keliru dan sepatutnya ditolak PN Jaksel. Komisi Antikorupsi yakin PN Jaksel akan memutus gugatan Romi dengan profesional.
"KPK menghormati dan yakin hakim praperadilan ini akan menyidangkan perkara dengan independen dan imparsial, sehingga nantinya akan dihasilkan putusan yang sebaik-baiknya," pungkasnya.
Tim hukum Romi sebelumnya menyampaikan poin-poin gugatan kliennya pada sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam poin gugatannya, Romi melalui kuasa hukumnya menilai penangkapan hingga penetapan tersangka janggal.
Tim hukum beserta Romi juga menuding jika KPK telah melakukan penyadapan sebelum penyelidikan dilakukan. Sehingga, tindakan KPK dianggap tak memiliki landasan hukum.
KPK menetapkan Romi sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kemenag. Romi disinyalir mengatur jabatan di Kemenag pusat dan daerah.
Romi diduga menerima suap dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin. Suap diberikan agar Romi mengatur proses seleksi jabatan untuk kedua penyuap tersebut.
Romi selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b ayat (1) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin selaku penyuap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muafaq juga dijerat Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)