Suasana sidang Syafruddin Arsyad Temenggung - ANT/Sigid Kurniawan.
Suasana sidang Syafruddin Arsyad Temenggung - ANT/Sigid Kurniawan.

Sjamsul Nursalim Pernah Diburu Interpol

Damar Iradat • 05 Juli 2018 15:31
Jakarta: Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim pernah diburu Interpol. Saat itu, Sjamsul diduga telah kabur ke luar negeri lantaran tak bisa bayar hutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 
 
Hal tersebut terungkap saat jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan barang bukti berupa surat rekomendasi dari Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH) Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Dalam surat tersebut rekomendasinya antara lain; Sjamsul Nursalim wajib membayar kewajiban utang BLBI sebesar Rp1 triliun dan melakukan penyempurnaan aset-aset yang telah diberikan Sjamsul ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
 
Selain itu, komite pengawas juga melakukan pelacakan aset untuk menambah kekurangan aset-aset yang telah diserahkan oleh Sjamsul. Terakhir, bekerja sama dengan Interpol agar dapat mendatangkan Sjamsjul ke Indonesia.

Hal tersebut kemudian dikonfirmasi kepada mantan Koordinator TPBH, Herdiah Herawatie yang dihadirkan sebagai saksi. Namun, ia mengaku tak mengingat betul isi surat tersebut.
 
"Saya lupa, tapi kalau ada kendala seperti itu dan masuk dalam surat, jadi ya memang bisa jadi (Sjamsul Nursalim) di luar negeri," kata Diah dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Juli 2018.
 
(Baca juga: Aset BDNI Ketahuan Bermasalah Belakangan)
 
Syafruddin selaku mantan Kepala BPPN diduga telah menghapus piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Padahal, menurut jaksa, Sjamsul belum memenuhi kewajibannya mengembalikan utang ke negara.
 
Sejak awal kasus ini diusut oleh KPK, Sjamsul Nursalim belum sekalipun memberikan keterangan. Padahal, menurut tim kuasa hukum Syafruddin, Sjamsul merupakan saksi kunci untuk membongkar kasus tersebut.
 
Awalnya BDNI ditetapkan sebagai bank beku operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh Tim Pemberesan yang ditunjuk BPPN dan didampingi oleh Group Head Bank Restrukturisasi. Atas status BBO tersebut, BDNI berhak mendapatkan bantuan likuiditas.
 
Kemudian, pada 29 Januari 1999, Bank Indonesia mengalirkan bantuan likuiditas sebesar Rp37 triliun. BLBI itu terdiri dari fasilitas surat berharga pasar utang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
 
(Baca juga: Eks Wakil Kepala BPPN Mengaku tak Setuju dengan Perjanjian MSAA)
 
Selain itu, terdapat juga BLBI yang disalurkan kepada BDNI dalam periode sesudah 29 Januari 1999 hingga 26 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo sebesar Rp5,49 triliun.
 
Dalam penggunaan dana BLBI oleh BDNI, ditemukan sejumlah penyimpangan. Di antaranya berupa transaksi pembelian valas yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku dan melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet.
 
BDNI kemudian dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum dan atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul. Karena itu, BDNI diwajibkan mengikuti penyelesaian kewajiban pemegang saham dengan pola perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan