Jakarta: PNS Kendari disebut diperintah untuk mendukung mantan Wali Kota Kendari Asrun sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2018. Perintah itu disampaikan mantan Kepala BPKAD Kendari Fatmawaty Faqih selaku orang kepercayaan Asrun.
Hal tersebut diungkap Kepala Bidang Tata Usaha BPKAD Kota Kendari, Laode Marvin saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap Wali Kota Kendari dengan terdakwa Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota nonaktif Kendari 2017-2022, Asrun Wali Kota Kendari 2007-2012 dan 2012-2017, dan Fatmawaty Faqih.
Menurut Laode, awalnya, Fatmawaty meminta sejumlah bantuan terkait pencalonan Asrun sebagai cagub Sulteng. "Secara teknis tidak, tapi dukungan secara moril," kata Laode di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Agustus 2018.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas mempertanyakan maksud dukungan moril yang disebut Laode. Namun, Laode tidak menerangkan secara gamblang dukungan secara moril tersebut.
Masih tak puas dengan jawaban Laode, jaksa kembali mencecar soal bantuan yang dimaksud Laode. Kali ini, jaksa mengonfirmasi apakah Laode pernah diminta Fatmawaty untuk menyiapkan kaus dan kalender untuk kampanye Asrun.
"Iya, disuruh Bu Fat (Fatmawaty)," ujarnya.
Baca: Suap Kendari Untuk Biayai Kampanye Asrun di Pilgub Sultra
Namun Laode tidak mengetahui apakah Fatmawaty termasuk dalam timses Asrun di Pilkada Sulteng. Jaksa kemudian mempertanyakan mengapa Laode sebagai PNS menurut ketika diperintah oleh Fatmawaty untuk membantu pencalonan Asrun, apalagi saat itu Fatmawaty statusnya sudah pensiunan PNS dan Laode sebagai PNS dilarang menjadi bagian timses calon tertentu.
"Waktu itu kan beliau (Fatmawaty) baru pensiun di akhir tahun, waktu itu beliau mungkin masih sempat peduli dengan kegiatan-kegiatan yang ada di Kendari," jawabnya.
Selain itu, Laode juga mengaku sempat diminta Fatmawaty untuk menukar sejumlah uang pecahan Rp100 ribu ke Rp20 ribu di Bank BRI. Menurut dia, uang itu untuk kegiatan sosialisasi Asrun sebagai cagub.
"Saya konfirmasi ke pihak BRI untuk menukarkan pecahan Rp100 ribu ke Rp20 ribu. Waktu itu untuk biaya sosialisasi," kata Laode.
Wali Kota Kendari non aktif, Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari, Asrun, didakwa menerima suap miliaran rupiah. Keduanya didakwa menerima duit Rp2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah. Uang itu diberikan agar Adriatma selaku Wali Kota menyetujui Hasmun mendapatkan jatah proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port dengan sistem penganggaran multi years. Pendanaan untuk proyek itu menggunakan anggaran tahun 2018-2020.
Asrun, yang merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara, didakwa pula menerima Rp4 miliar dari Hasmun Hamzah. Uang itu diduga diberikan lantaran Asrun saat menjabat Wali Kota, menyetujui Hasmun mendapatkan jatah sejumlah proyek di Pemkot Kendari.
Dalam kasus ini, ayah dan anak itu didakwa melanggar Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, Fatmawaty didakwa menjadi perantara suap dari Hasmun kepada Asrun dan Adriatma. Fatmawaty didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jakarta: PNS Kendari disebut diperintah untuk mendukung mantan Wali Kota Kendari Asrun sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2018. Perintah itu disampaikan mantan Kepala BPKAD Kendari Fatmawaty Faqih selaku orang kepercayaan Asrun.
Hal tersebut diungkap Kepala Bidang Tata Usaha BPKAD Kota Kendari, Laode Marvin saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap Wali Kota Kendari dengan terdakwa Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota nonaktif Kendari 2017-2022, Asrun Wali Kota Kendari 2007-2012 dan 2012-2017, dan Fatmawaty Faqih.
Menurut Laode, awalnya, Fatmawaty meminta sejumlah bantuan terkait pencalonan Asrun sebagai cagub Sulteng. "Secara teknis tidak, tapi dukungan secara moril," kata Laode di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Agustus 2018.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas mempertanyakan maksud dukungan moril yang disebut Laode. Namun, Laode tidak menerangkan secara gamblang dukungan secara moril tersebut.
Masih tak puas dengan jawaban Laode, jaksa kembali mencecar soal bantuan yang dimaksud Laode. Kali ini, jaksa mengonfirmasi apakah Laode pernah diminta Fatmawaty untuk menyiapkan kaus dan kalender untuk kampanye Asrun.
"Iya, disuruh Bu Fat (Fatmawaty)," ujarnya.
Baca: Suap Kendari Untuk Biayai Kampanye Asrun di Pilgub Sultra
Namun Laode tidak mengetahui apakah Fatmawaty termasuk dalam timses Asrun di Pilkada Sulteng. Jaksa kemudian mempertanyakan mengapa Laode sebagai PNS menurut ketika diperintah oleh Fatmawaty untuk membantu pencalonan Asrun, apalagi saat itu Fatmawaty statusnya sudah pensiunan PNS dan Laode sebagai PNS dilarang menjadi bagian timses calon tertentu.
"Waktu itu kan beliau (Fatmawaty) baru pensiun di akhir tahun, waktu itu beliau mungkin masih sempat peduli dengan kegiatan-kegiatan yang ada di Kendari," jawabnya.
Selain itu, Laode juga mengaku sempat diminta Fatmawaty untuk menukar sejumlah uang pecahan Rp100 ribu ke Rp20 ribu di Bank BRI. Menurut dia, uang itu untuk kegiatan sosialisasi Asrun sebagai cagub.
"Saya konfirmasi ke pihak BRI untuk menukarkan pecahan Rp100 ribu ke Rp20 ribu. Waktu itu untuk biaya sosialisasi," kata Laode.
Wali Kota Kendari non aktif, Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari, Asrun, didakwa menerima suap miliaran rupiah. Keduanya didakwa menerima duit Rp2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah. Uang itu diberikan agar Adriatma selaku Wali Kota menyetujui Hasmun mendapatkan jatah proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port dengan sistem penganggaran multi years. Pendanaan untuk proyek itu menggunakan anggaran tahun 2018-2020.
Asrun, yang merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara, didakwa pula menerima Rp4 miliar dari Hasmun Hamzah. Uang itu diduga diberikan lantaran Asrun saat menjabat Wali Kota, menyetujui Hasmun mendapatkan jatah sejumlah proyek di Pemkot Kendari.
Dalam kasus ini, ayah dan anak itu didakwa melanggar Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, Fatmawaty didakwa menjadi perantara suap dari Hasmun kepada Asrun dan Adriatma. Fatmawaty didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)