Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mencegah Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir bepergian ke luar negeri. Pencegahan diputuskan setelah pemanggilan perdana Sofyan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatalan pencegahan akan dipertimbangkan jika bos PLN itu tidak menunjukkan itikad baik. Salah satunya, mangkir dari panggilan penyidik.
"Karena itu nanti saat KPK memanggil tersangka atau saksi, kami harap bisa datang dan koperatif," kata Febri saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
Menurut Febri saat ini pihaknya belum mau mencegah mantan Dirut Bank BRI itu. Alasannya, Sofyan dinilai masih bersikap kooperatif dan beritikad baik mengikuti proses hukum di KPK.
"Dipandang belum dibutuhkan pada proses penyidikan ini," kata dia.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang mengirimkan surat ke PLN pada Oktober 2015. Samantaka Batubara merupakan anak usaha Black Gold Natural Resources Ltd. Surat tersebut berisi permohonan agar PLN memasukkan proyek yang digarap perusahaan tersebut dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tidak ditanggapi. Bos BlackGold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tidak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur di PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham tiga tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mencegah Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir bepergian ke luar negeri. Pencegahan diputuskan setelah pemanggilan perdana Sofyan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatalan pencegahan akan dipertimbangkan jika bos PLN itu tidak menunjukkan itikad baik. Salah satunya, mangkir dari panggilan penyidik.
"Karena itu nanti saat KPK memanggil tersangka atau saksi, kami harap bisa datang dan koperatif," kata Febri saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
Menurut Febri saat ini pihaknya belum mau mencegah mantan Dirut Bank BRI itu. Alasannya, Sofyan dinilai masih bersikap kooperatif dan beritikad baik mengikuti proses hukum di KPK.
"Dipandang belum dibutuhkan pada proses penyidikan ini," kata dia.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang mengirimkan surat ke PLN pada Oktober 2015. Samantaka Batubara merupakan
anak usaha Black Gold Natural Resources Ltd. Surat tersebut berisi permohonan agar PLN memasukkan proyek yang digarap perusahaan tersebut dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tidak ditanggapi. Bos
BlackGold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tidak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur di PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham tiga tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)