medcom.id, Jakarta: Proses hukum kasus kekerasan terhadap wartawan sering mandek. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prastyo menyebut ada beberapa kendala mengusut kasus kekerasan kepada wartawan.
Misalnya, kekerasan terhadap wartawan dari Jawa Pos Group saat meliput jatuhnya pesawat Super Tucano. Dewan Pers mendorong agar pimpinan Jawa Pos Group membawa masalah ini ke penegak hukum. Anehnya, pimpinan Jawa Pos Group justru tidak mau masalah ini sampai ke penegak hukum.
"Mereka katakan, 'wartawan kami meliputnya di Malang, orang-orang itu juga tetangga kami. Kalau dibawa ke penegakan hukum, TNI AU-nya dipecat, bukan tidak mungkin mereka menyasar ke wartawan kami juga. Toh, pesawat drone yang dirusak diganti sama mereka'. Jadi, ada alasan pragmatis," kata Adi di Jakarta, Selasa 14 Februari 2017.
Alasan lain kekerasan terhadap wartawan tidak diusut tuntas ketika pelaku berkelompok atau ada di antara massa. Penegak hukum sering mengaku kesulitan memproses, karena tidak mengenali wajah pelaku.
"Ketika ditanya di proses penyidikan siapa pelakunya, namanya, blank kita. Hal-hal ini jadi jalan buntu penegak hukum memproses laporan," tutur Adi.
Laporan kekerasan terhadap wartawan sering minim bukti foto karena korban lupa memotret. Kalaupun berhasil memotret, pelaku mengambil kamera secara paksa.
Kalau ada wartawan lain berhasil mengabadikan insiden, namun tidak mau menjadi saksi. "Di sini perlunya menunjukkan solidaritas," tegas dia.
Dalam kesempatan itu, Adi juga mengingatkan Dewan Pers sudah meneken perjanjian kerja sama dengan Polri. Salah satu poin dari kerja sama itu, wartawan bisa meminta pengawalan polisi saat meliput hal yang dinilai membahayakan.
"Nanti polisi mengenakan pakaian preman, mengawal teman-teman. Kalau ada apa-apa, mereka bisa menunjukkan, kalau mereka polisi," tandas Adi.
medcom.id, Jakarta: Proses hukum kasus kekerasan terhadap wartawan sering mandek. Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prastyo menyebut ada beberapa kendala mengusut kasus kekerasan kepada wartawan.
Misalnya, kekerasan terhadap wartawan dari Jawa Pos Group saat meliput jatuhnya pesawat Super Tucano. Dewan Pers mendorong agar pimpinan Jawa Pos Group membawa masalah ini ke penegak hukum. Anehnya, pimpinan Jawa Pos Group justru tidak mau masalah ini sampai ke penegak hukum.
"Mereka katakan, 'wartawan kami meliputnya di Malang, orang-orang itu juga tetangga kami. Kalau dibawa ke penegakan hukum, TNI AU-nya dipecat, bukan tidak mungkin mereka menyasar ke wartawan kami juga. Toh, pesawat drone yang dirusak diganti sama mereka'. Jadi, ada alasan pragmatis," kata Adi di Jakarta, Selasa 14 Februari 2017.
Alasan lain kekerasan terhadap wartawan tidak diusut tuntas ketika pelaku berkelompok atau ada di antara massa. Penegak hukum sering mengaku kesulitan memproses, karena tidak mengenali wajah pelaku.
"Ketika ditanya di proses penyidikan siapa pelakunya, namanya, blank kita. Hal-hal ini jadi jalan buntu penegak hukum memproses laporan," tutur Adi.
Laporan kekerasan terhadap wartawan sering minim bukti foto karena korban lupa memotret. Kalaupun berhasil memotret, pelaku mengambil kamera secara paksa.
Kalau ada wartawan lain berhasil mengabadikan insiden, namun tidak mau menjadi saksi. "Di sini perlunya menunjukkan solidaritas," tegas dia.
Dalam kesempatan itu, Adi juga mengingatkan Dewan Pers sudah meneken perjanjian kerja sama dengan Polri. Salah satu poin dari kerja sama itu, wartawan bisa meminta pengawalan polisi saat meliput hal yang dinilai membahayakan.
"Nanti polisi mengenakan pakaian preman, mengawal teman-teman. Kalau ada apa-apa, mereka bisa menunjukkan, kalau mereka polisi," tandas Adi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)