Jakarta: Bareskrim Polri terus mendalami kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh salah satu Politeknik di Sumatra Barat (Sumbar) dengan modus mengirimkan Mahasiswa magang ke Jepang. Polisi mendalami kemungkinan adanya tersangka lain.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan saat ini sudah ada dua tersangka. Keduanya ialah G, direktur Politeknik periode 2013-2018 dan EH, direktur Politeknik periode 2018-2022.
"Terkait Politeknik, kita sudah menetapkan dua orang tersangka. Pengembangan dari dua orang tersangka ini, kita masih mendalami lebih lanjut, apakah nanti ada tersangka lainnya atau tidak, karena ini berkaitan dengan ada keuntungan dari Politeknik tersebut," kata Djuhandhani kepada wartawan, Rabu, 28 Juni 2023.
Djuhandhani mengatakan praktik ilegal mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang telah dilakukan kedua tersangka sejak 2012. Djuhandhani belum bisa memastikan total mahasiswa yang telah diberangkatkan ke Jepang.
Namun, terakhir ada 11 mahasiswa yang diberangkatkan ke Negeri Sakura itu. Kesebelasannya telah kembali ke Tanah Air.
"Penyidik kami sampai saat ini masih terus mengembangkan hal ini," ungkap jenderal bintang satu itu.
Djuhandhani mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terkait tindak pidana di Politeknik tersebut. Kedua tersangka menempatkan mahasiswa magang di perusahaan yang tidak ada hubungan dengan departemen pendidikan dan lain sebagainya.
"Sehingga bisa menjerat itu kepentingan perorangan atau kelompok untuk memperdagangkan orang. Kalau ada, pasti ada aturannya baik itu melalui peraturan menteri pendidikan atau menaker cara mengirim mahasiswa ada ketentuan. Karena, tidak melalui prosedur itulah kita bisa menyatakan bahwa ini perdagangan orang," tutur Djuhandhani.
Kronologi kasus
Kasus ini terbongkar atas laporan dua korban mahasiswa berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang. Bahwa korban bersama sembilan orang mahasiswa lainnya dikirim oleh Politeknik untuk melaksanakan magang di perusahaan Jepang, namun korban dipekerjakan sebagai buruh.
Para mahasiswa itu dipaksa bekerja selama 14 jam dari jam 08.00 sampai dengan 22.00 waktu setempat selama 7 hari dalam seminggu tanpa libur. Istirahat pun diberikan hanya 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan melakukan ibadah.
Hal itu bertolak belakang dengan aturan Permendikbud Nomor 03 Tahun 2020 dalam Pasal 19. Beleid itu menyatakan bahwa untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit per minggu per semester.
Kemudian, para mahasiswa magang mendapatkan upah sebesar 50.000 yen setara Rp5 juta per bulan. Namun, korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen setara sekira Rp2 juta per bulan.
Dalam proses penyidikan diketahui para mahasiswa diberangkatkan ke Jepang menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah habis masa berlaku, diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi visa kerja selama enam bulan.
Korban yang menghubungi pihak Politeknik untuk dipulangkan, malah mendapat ancaman. Para mahasiswa diancam dikeluarkan dari kampus atau drop out (DO) bila kerja sama Politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak.
Jakarta: Bareskrim
Polri terus mendalami kasus
tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh salah satu Politeknik di Sumatra Barat (Sumbar) dengan modus mengirimkan Mahasiswa magang ke Jepang. Polisi mendalami kemungkinan adanya tersangka lain.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan saat ini sudah ada dua tersangka. Keduanya ialah G, direktur Politeknik periode 2013-2018 dan EH, direktur Politeknik periode 2018-2022.
"Terkait Politeknik, kita sudah menetapkan dua orang tersangka. Pengembangan dari dua orang tersangka ini, kita masih mendalami lebih lanjut, apakah nanti ada tersangka lainnya atau tidak, karena ini berkaitan dengan ada keuntungan dari Politeknik tersebut," kata Djuhandhani kepada wartawan, Rabu, 28 Juni 2023.
Djuhandhani mengatakan praktik ilegal mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang telah dilakukan kedua tersangka sejak 2012. Djuhandhani belum bisa memastikan total mahasiswa yang telah diberangkatkan ke Jepang.
Namun, terakhir ada 11 mahasiswa yang diberangkatkan ke Negeri Sakura itu. Kesebelasannya telah kembali ke Tanah Air.
"Penyidik kami sampai saat ini masih terus mengembangkan hal ini," ungkap jenderal bintang satu itu.
Djuhandhani mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terkait tindak pidana di Politeknik tersebut. Kedua tersangka menempatkan mahasiswa magang di perusahaan yang tidak ada hubungan dengan departemen pendidikan dan lain sebagainya.
"Sehingga bisa menjerat itu kepentingan perorangan atau kelompok untuk memperdagangkan orang. Kalau ada, pasti ada aturannya baik itu melalui peraturan menteri pendidikan atau menaker cara mengirim mahasiswa ada ketentuan. Karena, tidak melalui prosedur itulah kita bisa menyatakan bahwa ini perdagangan orang," tutur Djuhandhani.
Kronologi kasus
Kasus ini terbongkar atas laporan dua korban mahasiswa berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang. Bahwa korban bersama sembilan orang mahasiswa lainnya dikirim oleh Politeknik untuk melaksanakan magang di perusahaan Jepang, namun korban dipekerjakan sebagai buruh.
Para mahasiswa itu dipaksa bekerja selama 14 jam dari jam 08.00 sampai dengan 22.00 waktu setempat selama 7 hari dalam seminggu tanpa libur. Istirahat pun diberikan hanya 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan melakukan ibadah.
Hal itu bertolak belakang dengan aturan Permendikbud Nomor 03 Tahun 2020 dalam Pasal 19. Beleid itu menyatakan bahwa untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit per minggu per semester.
Kemudian, para mahasiswa magang mendapatkan upah sebesar 50.000 yen setara Rp5 juta per bulan. Namun, korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen setara sekira Rp2 juta per bulan.
Dalam proses penyidikan diketahui para mahasiswa diberangkatkan ke Jepang menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah habis masa berlaku, diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi visa kerja selama enam bulan.
Korban yang menghubungi pihak Politeknik untuk dipulangkan, malah mendapat ancaman. Para mahasiswa diancam dikeluarkan dari kampus atau
drop out (DO) bila kerja sama Politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)