medcom.id, Jakarta: Pada Jumat 29 Juli 2016, dini hari, tim regu tembak mengeksekusi empat terpidana mati. Seiring hujan deras dan angin kencang, empat terpidana mati--Freddy Budiman, Michael Titus, Humprey Ejike, dan Sekh Osmani--dijemput ajal.
Freddy mendapat giliran pertama dieksekusi di lapangan tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Jawa Tengah. Menyusul Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike.
Usai eksekusi, Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan, semula ada 14 terpidana mati yang akan ditembak mati. Dia mengaku siap bertanggung jawab atas penundaan eksekusi terhadap 10 terpidana.
Tapi, bukan itu yang saat ini menjadi sorotan publik, melainkan bagaimana akhirnya Freddy menemui ajal. Pria kelahiran Surabaya, itu adalah gembong narkoba dengan barang bukti 1.412.476 butir ekstasi hasil selundupan dari Pelabuhan Lianyung, Shenzhen, Cina.
Freddy Budiman--Antara/Idhad Zakaria.
Barang Freddy masuk Jakarta pada 8 Mei 2012. Jejak ekstasi milik Freddy terendus dan akhirnya disita, persis ketika kontainer hendak masuk pintu Tol Kamal, Cengkareng.
Kendati berada di balik jeruji besi, Freddy masih juga memproduksi narkoba. Jaringannya bertemali sampai jauh.
Freddy pertama kali diciduk pada Maret 2009 di Apartemen Taman Surya, Cengkareng, Jakarta Barat. Dari tangannya disita 500 gram sabu dan dia diganjar 3 tahun dan 4 bulan penjara.
Freddy Budiman--Antara/Rivan Awal Lingga.
Sempat bebas, dia terus berulah sampai akhirnya ditangkap lagi pada 27 April 2011. Ketika itu, dia bahkan baru menyerah setelah ban dan kaca mobilnya ditembak. Polisi mendapati 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi dari dalam mobil Freddy. Freddy pun divonis sembilan tahun penjara.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012 memvonis mati Freddy. Ia kemudian banding dan dikuatkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Freddy kemudian mengajukan Peninjauan Kembali, Juli 2016, dan ditolak.
Cerita Freddy tak terhenti kendati dia sudah dieksekusi mati. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar mengaku mendapatkan kesaksian Freddy di sela-sela berkunjung ke Lapas Nusakambangan pada 2014.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar--Metrotvnews.com/Githa.
Haris 'menyanyikan bait minor soal upeti kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) ratusan miliar rupiah. Selain itu 'nyanyian' Haris juga menyinggung adanya oknum polisi, Bea Cukai serta TNI.
Baca: Haris Azhar Ungkap Freddy Budiman Beri Upeti BNN Rp450 Miliar
Haris mengatakan, modal satu butir narkoba yang dijual di Jakarta sekira Rp200 ribu hingga Rp300 ribu itu, hanya Rp5 ribu. Pihak tertentu menitip harga Rp10 ribu hingga Rp30 ribu per butir dari harga penjualan kepada konsumen.
"Dan itu, saya tidak pernah bilang tidak. Saya selalu oke kan. Kenapa pak Haris? Freddy menjawab sendiri. Karena saya bisa dapat per butir Rp200 ribu. Jadi kalau hanya membagi rezeki Rp10 ribu hingga Rp30 ribu ke masing-masing pihak, di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah," ucap Freddy kepada Haris.
Tidak hanya upeti kepada BNN, Freddy juga memberikan Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri. Kemudian, Freddy membawa barang haram itu dengan mobil fasilitas TNI berbintang 2. Jenderal itu bahkan duduk di sampingnya saat menyetir dari Medan sampai Jakarta. "Perjalanan saya aman tanpa gangguan apa pun," ucap Freddy melalui cerita Haris.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar--Hafidz Mubarak
'Nyanyian' Haris berbuntut panjang. Tiga institusi melaporkan Haris ke Kepolisian Republik Indonesia. Institusi yang melaporkan tersebut yakni BNN, TNI dan Polri.
Dalam pelaporannya, Haris disebut telah mencemarkan nama baik ketiga institusi tersebut saat membeberkan cerita Freddy. Dikonfirmasi Metrotvnews.com, Haris mengaku, sudah menghitung semuanya. "Iya saya sudah menduga bahwa saya bakal direpresif begini," kata Haris, Kamis (4/8/2016).
Namun, Haris menyebut pelaporan ini telah mengusik demokrasi di Tanah Air. Pasalnya, hal ini memperlihatkan bahwa adanya pengekangan dalam berpendapat. "Pendapat yang saya berikan kan bukan hujatan kebencian kepada seseorang, ini kan persoalan bersama. Tiga intitusi itu bukan miliknya pelapor, miliknya publik. Institusi publik kan itu, jadi miliknya publik," ujar dia.
Menurut Haris, aparat seharusnya mencari tahu akan kebenaran dari informasi yang diberikan tentang Freddy, bukan melaporkannya. "Jadi kalau saya mengindikasikan memberikan informasi ada hal-hal seperti dalam tulisan saya, mestinya itu jadi masukan untuk institusi tersebut dan dicari tahu sampai sejauh mana kebenarannya, bukan malah saya dilaporkan," kata dia.
Namun demikian, Haris mengaku tak gentar dengan pelaporan tersebut. Haris menilai hal itu sebagai bentuk konsekuensi atas pernyataannya. "Ya dilaporkan sih saya terima konsekuensinya, tapi saya punya hak untuk bela diri," tegas dia.
'Nyanyian' Haris yang masuk area pidana juga telah sampai ke 'telinga' istana. Presiden Joko Widodo ingin ada tindakan tegas bagi aparat yang bermain-main dengan bisnis narkoba.
Juru Bicara Presiden Johan Budi--Metrotvnews.com/Githa.
Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan semua tindakan tegas harus berdasarkan bukti kuat. Presiden tak ingin masyarakat bertindak gegabah karena nyanyian Haris berkaitan dengan institusi dan lembaga negara.
Semua orang boleh berpendapat, namun harus dipikirkan secara matang baru sebelum dilempar kepada publik. "Apalagi info itu sifatnya serius tuduhan terhadap institusi. Harus dpikir matang dulu apakah info itu didasari fakta," jelas Johan.
Presiden, kata Johan, juga mengingatkan aparat untuk melihat kritik dan informasi dari masyarakat sebagai masukan. Aparat bisa melakukan koreksi ke dalam apabila menerima informasi terkait oknum anggotanya.
medcom.id, Jakarta: Pada Jumat 29 Juli 2016, dini hari, tim regu tembak mengeksekusi empat terpidana mati. Seiring hujan deras dan angin kencang, empat terpidana mati--Freddy Budiman, Michael Titus, Humprey Ejike, dan Sekh Osmani--dijemput ajal.
Freddy mendapat giliran pertama dieksekusi di lapangan tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Jawa Tengah. Menyusul Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike.
Usai eksekusi, Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan, semula ada 14 terpidana mati yang akan ditembak mati. Dia mengaku siap bertanggung jawab atas penundaan eksekusi terhadap 10 terpidana.
Tapi, bukan itu yang saat ini menjadi sorotan publik, melainkan bagaimana akhirnya Freddy menemui ajal. Pria kelahiran Surabaya, itu adalah gembong narkoba dengan barang bukti 1.412.476 butir ekstasi hasil selundupan dari Pelabuhan Lianyung, Shenzhen, Cina.
Freddy Budiman--Antara/Idhad Zakaria.
Barang Freddy masuk Jakarta pada 8 Mei 2012. Jejak ekstasi milik Freddy terendus dan akhirnya disita, persis ketika kontainer hendak masuk pintu Tol Kamal, Cengkareng.
Kendati berada di balik jeruji besi, Freddy masih juga memproduksi narkoba. Jaringannya bertemali sampai jauh.
Freddy pertama kali diciduk pada Maret 2009 di Apartemen Taman Surya, Cengkareng, Jakarta Barat. Dari tangannya disita 500 gram sabu dan dia diganjar 3 tahun dan 4 bulan penjara.
Freddy Budiman--Antara/Rivan Awal Lingga.
Sempat bebas, dia terus berulah sampai akhirnya ditangkap lagi pada 27 April 2011. Ketika itu, dia bahkan baru menyerah setelah ban dan kaca mobilnya ditembak. Polisi mendapati 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi dari dalam mobil Freddy. Freddy pun divonis sembilan tahun penjara.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012 memvonis mati Freddy. Ia kemudian banding dan dikuatkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Freddy kemudian mengajukan Peninjauan Kembali, Juli 2016, dan ditolak.
Cerita Freddy tak terhenti kendati dia sudah dieksekusi mati. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar mengaku mendapatkan kesaksian Freddy di sela-sela berkunjung ke Lapas Nusakambangan pada 2014.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar--Metrotvnews.com/Githa.
Haris 'menyanyikan bait minor soal upeti kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) ratusan miliar rupiah. Selain itu 'nyanyian' Haris juga menyinggung adanya oknum polisi, Bea Cukai serta TNI.
Baca: Haris Azhar Ungkap Freddy Budiman Beri Upeti BNN Rp450 Miliar
Haris mengatakan, modal satu butir narkoba yang dijual di Jakarta sekira Rp200 ribu hingga Rp300 ribu itu, hanya Rp5 ribu. Pihak tertentu menitip harga Rp10 ribu hingga Rp30 ribu per butir dari harga penjualan kepada konsumen.
"Dan itu, saya tidak pernah bilang tidak. Saya selalu oke kan. Kenapa pak Haris? Freddy menjawab sendiri. Karena saya bisa dapat per butir Rp200 ribu. Jadi kalau hanya membagi rezeki Rp10 ribu hingga Rp30 ribu ke masing-masing pihak, di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah," ucap Freddy kepada Haris.
Tidak hanya upeti kepada BNN, Freddy juga memberikan Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri. Kemudian, Freddy membawa barang haram itu dengan mobil fasilitas TNI berbintang 2. Jenderal itu bahkan duduk di sampingnya saat menyetir dari Medan sampai Jakarta. "Perjalanan saya aman tanpa gangguan apa pun," ucap Freddy melalui cerita Haris.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Haris Azhar--Hafidz Mubarak
'Nyanyian' Haris berbuntut panjang. Tiga institusi melaporkan Haris ke Kepolisian Republik Indonesia. Institusi yang melaporkan tersebut yakni BNN, TNI dan Polri.
Dalam pelaporannya, Haris disebut telah mencemarkan nama baik ketiga institusi tersebut saat membeberkan cerita Freddy. Dikonfirmasi
Metrotvnews.com, Haris mengaku, sudah menghitung semuanya. "Iya saya sudah menduga bahwa saya bakal direpresif begini," kata Haris, Kamis (4/8/2016).
Namun, Haris menyebut pelaporan ini telah mengusik demokrasi di Tanah Air. Pasalnya, hal ini memperlihatkan bahwa adanya pengekangan dalam berpendapat. "Pendapat yang saya berikan kan bukan hujatan kebencian kepada seseorang, ini kan persoalan bersama. Tiga intitusi itu bukan miliknya pelapor, miliknya publik. Institusi publik kan itu, jadi miliknya publik," ujar dia.
Menurut Haris, aparat seharusnya mencari tahu akan kebenaran dari informasi yang diberikan tentang Freddy, bukan melaporkannya. "Jadi kalau saya mengindikasikan memberikan informasi ada hal-hal seperti dalam tulisan saya, mestinya itu jadi masukan untuk institusi tersebut dan dicari tahu sampai sejauh mana kebenarannya, bukan malah saya dilaporkan," kata dia.
Namun demikian, Haris mengaku tak gentar dengan pelaporan tersebut. Haris menilai hal itu sebagai bentuk konsekuensi atas pernyataannya. "Ya dilaporkan sih saya terima konsekuensinya, tapi saya punya hak untuk bela diri," tegas dia.
'Nyanyian' Haris yang masuk area pidana juga telah sampai ke 'telinga' istana. Presiden Joko Widodo ingin ada tindakan tegas bagi aparat yang bermain-main dengan bisnis narkoba.
Juru Bicara Presiden Johan Budi--Metrotvnews.com/Githa.
Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan semua tindakan tegas harus berdasarkan bukti kuat. Presiden tak ingin masyarakat bertindak gegabah karena nyanyian Haris berkaitan dengan institusi dan lembaga negara.
Semua orang boleh berpendapat, namun harus dipikirkan secara matang baru sebelum dilempar kepada publik. "Apalagi info itu sifatnya serius tuduhan terhadap institusi. Harus dpikir matang dulu apakah info itu didasari fakta," jelas Johan.
Presiden, kata Johan, juga mengingatkan aparat untuk melihat kritik dan informasi dari masyarakat sebagai masukan. Aparat bisa melakukan koreksi ke dalam apabila menerima informasi terkait oknum anggotanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)