medcom.id, Jakarta: Labora Sitorus, bekas polisi yang jadi terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar sempat kabur dari penjara sebelum akhirnya menyerahkan diri. Banyak pihak menyayangkan Labora bisa melarikan diri.
Presiden Joko Widodo melalui Juru Bicara Johan Budi SP menegaskan negara tak boleh kalah dari orang-orang terhukum seperti Labora.
"Perintah Presiden negara tidak boleh kalah oleh orang per orang seperti Labora," kata Johan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Johan menegaskan, sikap pemerintah sangat jelas agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Labora akhirnya menyerahkan diri. Menurut Johan, penyerahan diri itu dilakukan setelah Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan menerjunkan aparat untuk mengepung Labora.
"Presiden sudah menyampaikan pada Menkopolhukam untuk menegakkan aturan sehingga ada perintah langsung dikejar ke manapun, enggak lama kan ketangkap," tutur mantan Plt pimpinan KPK ini.
Labora adalah terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar di Sorong. Mahkamah Agung memvonis Labora 15 tahun penjara. Namun, Labora tidak menerima putusan tersebut.
Penahanan Labora disorot lantaran bekas polisi yang harus pensiun di pangkat Aiptu itu sering ke luar tahanan dengan alasan berobat. Beberapa waktu lalu, ia menggunakan alasan itu untuk menghadiri pernikahan keluarganya.
Saat tim Kementerian Hukum dan HAM bersama ratusan polisi ingin mengeksekusi Labora pada Jumat 4 Maret, ia kabur dari rumahnya di Tampa Garam, Kecamatan Rufei, Sorong, Papua Barat. Senin dini hari 7 Maret, Labora menyerahkan diri ke Mapolres Sorong.
Labora terseret hukum setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi senilai Rp1,5 triliun di rekeningnya. Kepemilikan uang itu dinilai tidak wajar karena gaji pokok polisi berpangkat Aiptu hanya Rp2 juta-Rp3 juta per bulan.
Kasus rekening gendut Labora terungkap pada 2013. Pria yang pernah bertugas di Polres Sorong, Papua Barat itu, memiliki uang sebanyak itu diduga hasil bisnis ilegal logging lewat PT Rotua dan bahan bakar minyak ilegal melalui PT Seno Adi Wijaya.
Senin 17 Februari 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong melanggar Undang-Undang (UU) Migas dan UU Kehutanan. Ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum banding putusan hakim Pengadilan Negeri Sorong. Di Pengadilan Tinggi Papua, hakim menambah hukuman bagi Labora menjadi delapan tahun penjara, 2 Mei 2014. Pengadilan Tinggi juga menyatakan Labora melakukan pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, majelis hakim kasasi Surya Jaya, Sri Murwahyuni, dan Artidjo Alkostar, menolak kasasi Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora dijatuhi hukuman 15 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, 17 September 2014.
Namun sejak putusan kasasi keluar, Labora tidak ditahan. Ia selalu beralasan sakit dan butuh perawatan medis di luar lembaga pemasyarakatan. Izin berobat ia salah gunakan agar dapat kembali ke rumahnya.
medcom.id, Jakarta: Labora Sitorus, bekas polisi yang jadi terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar sempat kabur dari penjara sebelum akhirnya menyerahkan diri. Banyak pihak menyayangkan Labora bisa melarikan diri.
Presiden Joko Widodo melalui Juru Bicara Johan Budi SP menegaskan negara tak boleh kalah dari orang-orang terhukum seperti Labora.
"Perintah Presiden negara tidak boleh kalah oleh orang per orang seperti Labora," kata Johan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Johan menegaskan, sikap pemerintah sangat jelas agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Labora akhirnya menyerahkan diri. Menurut Johan, penyerahan diri itu dilakukan setelah Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan menerjunkan aparat untuk mengepung Labora.
"Presiden sudah menyampaikan pada Menkopolhukam untuk menegakkan aturan sehingga ada perintah langsung dikejar ke manapun, enggak lama kan ketangkap," tutur mantan Plt pimpinan KPK ini.
Labora adalah terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar di Sorong. Mahkamah Agung memvonis Labora 15 tahun penjara. Namun, Labora tidak menerima putusan tersebut.
Penahanan Labora disorot lantaran bekas polisi yang harus pensiun di pangkat Aiptu itu sering ke luar tahanan dengan alasan berobat. Beberapa waktu lalu, ia menggunakan alasan itu untuk menghadiri pernikahan keluarganya.
Saat tim Kementerian Hukum dan HAM bersama ratusan polisi ingin mengeksekusi Labora pada Jumat 4 Maret, ia kabur dari rumahnya di Tampa Garam, Kecamatan Rufei, Sorong, Papua Barat. Senin dini hari 7 Maret, Labora menyerahkan diri ke Mapolres Sorong.
Labora terseret hukum setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi senilai Rp1,5 triliun di rekeningnya. Kepemilikan uang itu dinilai tidak wajar karena gaji pokok polisi berpangkat Aiptu hanya Rp2 juta-Rp3 juta per bulan.
Kasus rekening gendut Labora terungkap pada 2013. Pria yang pernah bertugas di Polres Sorong, Papua Barat itu, memiliki uang sebanyak itu diduga hasil bisnis ilegal logging lewat PT Rotua dan bahan bakar minyak ilegal melalui PT Seno Adi Wijaya.
Senin 17 Februari 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong melanggar Undang-Undang (UU) Migas dan UU Kehutanan. Ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum banding putusan hakim Pengadilan Negeri Sorong. Di Pengadilan Tinggi Papua, hakim menambah hukuman bagi Labora menjadi delapan tahun penjara, 2 Mei 2014. Pengadilan Tinggi juga menyatakan Labora melakukan pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, majelis hakim kasasi Surya Jaya, Sri Murwahyuni, dan Artidjo Alkostar, menolak kasasi Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora dijatuhi hukuman 15 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, 17 September 2014.
Namun sejak putusan kasasi keluar, Labora tidak ditahan. Ia selalu beralasan sakit dan butuh perawatan medis di luar lembaga pemasyarakatan. Izin berobat ia salah gunakan agar dapat kembali ke rumahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)