Direktur Eksekutif ILR Todung Mulya Lubis/MI/Rommy Pujianto
Direktur Eksekutif ILR Todung Mulya Lubis/MI/Rommy Pujianto

Peradilan Indonesia Masih Terbelenggu Intervensi

06 September 2017 06:58
medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR) Todung Mulya Lubis menyatakan peradilan di Indonesia belum bebas intervensi. Aktor-aktor seperti pemerintah daerah, DPR, DPRD, partai politik, hingga pejabat peradilan sering kali memengaruhi proses peradilan.
 
Dari skala 1-10, ILR memberikan total skor INHI 5,31 untuk periode 2016. Pada 2015, ILR memberi skor INHI 5,32. Artinya, ada penurunan indeks 0,01 dari tahun sebelumnya.
 
"Jika membandingkan tren indeks dalam lima tahun terakhir, baru pada 2016 terjadi tren penurunan," ujar Todung seperti dilansir Media Indonesia, Rabu 6 September 2017.

Independensi kehakiman menjadi salah satu indikator yang diukur dalam kajian itu. Padahal, 70 persen responden menginginkan tak ada intervensi terhadap lembaga peradilan.
 
Menurut Todung, masyarakat sudah menyadari ada yang salah. Mulai putusan yang menyimpang dan tidak dapat diterima publik hingga kriminalisasi. Sayangnya, pembuktian secara kasatmata sulit dilakukan.
 
Intervensi, jelas Todung, sulit dibendung. Padahal, berdasarkan survei, 65% responden menilai upaya remunerasi dan peningkatan gaji hakim sudah lebih dari cukup jika dibandingkan lulusan fakultas hukum yang bekerja di firma hukum.
 
"Terlebih, lulusan terbaik fakultas hukum hampir tidak ada yang mau menjadi baik hakim maupun jaksa. Kebanyakan mau jadi advokat. Kalau semua taat pada etika, bersih, dan berintegritas, itu fine. Akan tetapi, banyak yang jadi pedagang hukum," beber dia.
 
Situasi berbeda justru terlihat di banyak negara lain. Lulusan terbaik fakultas hukum di universitas negara banyak yang memutuskan menjadi hakim. Terdapat korelasi antara pendidikan hukum dan perwujudan negara hukum. Di Indonesia, jika masih disfungsional, perwujudan negara hukum masih sulit dilakukan.
 
"Karena orang kuliah hukum belum tentu idealisme dan cita-citanya untuk menjunjung hukum itu sendiri," cetus Todung.
 
Independensi individu
 
Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta yang juga hadir sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut tidak menampik masih adanya intervensi dalam peradilan di Indonesia. Menurutnya, hampir 70% hakim yang diteliti KY menyatakan mendapat intervensi dalam memutus perkara.
 
Sejauh ini, ujarnya, upaya lewat perundangan untuk menjamin independensi masih sebatas pada independensi kelembagaan, belum mengarah pada hakim sebagai individu. "Padahal, kalau bicara independensi, hal yang paling diprioritaskan ialah individu untuk memutuskan perkara," tukasnya.
 
Oleh karena itu, salah satu jawaban yang terbaik, kata Sukma, ialah dengan RUU Jabatan Hakim yang tengah berproses di DPR. Adanya pembagian pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung kepada KY dan lembaga lainnya seperti akademisi akan dapat menjadi solusi terhadap keterbatasan sumber daya di MA dalam mengawasi peradilan di Indonesia.
 
"Jadi, nanti MA bisa berfokus pada putusannya, manajerial hakim dan lainnya dilakukan KY. Itu usulan kami," tuturnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan