Jakarta: Mantan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus dituntut hukuman 12 tahun penjara. Dia juga terancam denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Menuntut supaya Majelis Hakim menyatakan terdakwa Ahmad Hidayat Mus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) Lie Putra Setiawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Maret 2019.
Jaksa meyakini, Ahmad Mus melakukan korupsi pengadaan lahan bandara Bobong, Maluku Utara. Perbuatannya merugikan keuangan negara sebanyak Rp3,448 miliar.
Ahmad Mus melakukan korupsi Bersama dengan saudaranya Ketua DPRD Kepulauan Sula periode 2009-2014 Zainal Mus. Dalam perkara yang sama, Zainal Mus dituntut delapan tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan.
Ahmad dan Zainal Mus dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam pertimbangan hukuman, Jaksa menilai perbuatan Ahmad maupun Zainal Mus tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan manipulatif dalam memberikan keterangan.
"Sementara hal-hal yang meringankan, keduanya belum pernah dihukum sebelumnya," ujar Jaksa Lie.
Kasus ini bermula pada 2009 dalam pengadaan bandara Bobong di kabupaten Kepulauan Sula senilai Rp5,51 miliar. Ahmad Mus menentukan harga tanah pemukiman masyarakat yang berada dekat lokasi bandara dihargai Rp8.500 per meter persegi. Sementara yang jaraknya agak jauh dihargai Rp4.260 per meter persegi.
Setelah dilakukan pengukuran tanah dan proses administrasi pembebasan lahan, panitia pengadaan mengajukan berkas permintaan dana untuk diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Pada 7 Agustus 2009, Ahmad Mus meminta bantuan kepada Hidayat Nahumarury, Kepala Bank Pembangunan Daerah Maluku (BPDM) Cabang Sanana. Hidayat membantu pencairan dana Rp1,5 miliar yang dibagi dua. Masing-masing Rp850 juta diambil tunai dan Rp650 juta ditransfer melalui rekening Bank Mandiri.
Hidayat meminta kepala seksi pelayanan nasabah Ona Lauconsina berkoordinasi dengan Ema Sabar dan Majestisa terkait SP2D sejumlah Rp1,5 miliar permintaan terdakwa.
Pada 10 Agustus 2009, Majestisa pergi ke rumah Zainal Mus dan meminta untuk menandatangani kuitansi tanda terima sejumlah Rp1,5 miliar atas biaya pelepasan hak tanah di Bobong, Taliabu.
Pada 4 September 2009, Arman Sangadji, Ema Sabar dan Majestisa memproses SP2D atas pembebasan lahan bandara Bobong tahap 2 senilai Rp1,948 miliar.
Terkait total pencairan Rp3,448 miliar tersebut sebanyak Rp1,053 miliar ditarik tunai oleh Ema Sabar dan diberikan ke sejumlah pihak. Mereka yang menerima ialah, Kapolres Kepulauan Sula Rp75 juta; Kabag Kesra Pemkab Sula Rugaya Soelman Rp210 juta; anggota DPRD Sula Sudin Lacupa Rp50 juta; dan Kajari kepulauan Sula Rp35 juta. Kemudian jaksa Sihombong Rp7,5 juta; camat Bobong Misba Wamnebo Rp5 juta; Kades Bobong Muhdin Soamole Rp5 juta dan pihak-pihak lain.
Akibat perbuatannya, Ahmad dan Zainal Mus turut terancam membayar uang pengganti. Ahmad sebanyak Rp2,408 miliar dan Zainal Mus Rp294,997 miliar.
"Jika terdakwa tidak mampu membayar maka harta benda akan disita. Bila tidak mencukupi akan diganti dengan hukuman pidana penjara, Ahmad Mus enam tahun dan Zainal Mus dua tahun," ujar Jaksa Lie.
Atas tuntutan itu, Ahmad maupun Zainal Mus akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjadwalkan sidang pembacaan pledoi keduanya pada Kamis, 28 Maret 2019..
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id