medcom.id, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) acap kali dinilai tidak mampu berkoordinasi untuk menghadirkan sistem peradilan dan mutu hakim yang baik. Hingga saat ini, MA dan KY belum membuat peraturan bersama untuk melakukan proses rekruitmen hakim yang sudah terhenti selama empat tahun.
Pakar tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, proses rekruitmen hakim terbentur pada arogansi antara MA dan KY yang tidak mampu membentuk peraturan bersama pada pengangkatan dan seleksi hakim.
Status hakim yang sudah ditetapkan sebagai pejabat negara menyulitkan proses rekruitmen hakim yang sebelumnya melalui Kementerian Aparatur Negara (Kemenpan). Ia meminta pemerintah baru mendatang diminta untuk membuat Peraturan Presiden (Perpres) untuk menengahi kedua lembaga kehakiman negara tersebut.
"Membuat UU Pejabat Hakim itu memakan waktu lama. Jadi tetap perlu Peraturan Presiden. Ada asumsi kalau presiden mengatur? Itu salah, justru presiden harus berani mengambil tanggung jawab. Di KY dan MA tidak bisa ngatur, berdebat terus," kata Jimly usai menjadi pembicara 'Manajemen Hakim Sebagai Pejabat Negara', di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (9/9/2014).
Ia menambahkan, kebutuhan Perpres ini diakuinya sangat penting, terutama pada tahapan rekruitmen seleksi hakim.
"Selama ini hanya mengandalkan PP seperti kenaikan tunjangan hakim. Jadi hakim bukan khusus sebagai penyelenggara negara tapi hanya dimasukkan dalam PP yang umum itu. Untuk sekadar menjadikan dasar bagi pemerintah memberikan tunjangan sebagai pejabat negara. Tapi aspek yang lain belum diatur. Jadi sejalan dengan aturan itu dibutuhkan Peraturan Presiden," imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner KY Taufiqqurahman Syahuri mengatakan, tingkat urgensi kebutuhan hakim di seluruh Indonesia sudah sangat tinggi. Menurutnya, negara membutuhkan sedikitnya 700 hakim untuk mengisi kekosongan di seluruh kamar peradilan.
"Ini dosa bersama MA dan KY apabila tidak ada seleksi hakim. Kebutuhan 700, tapi ini sekitar 350 hakim. Tahun ini harus bisa seleksi. Tapi persoalannya peraturan bersamanya belum selesai," kata Taufiq. Ia menambahkan, Seleksi proses seleksi dan pengangkatan hakim dilakukan bersama MA dan KY.
Kemudian ia juga menargetkan peraturan bersama MA dan KY dalam tahapan seleksi hakim bisa selesai pada September 2014. Namun diakuinya, pembentukan peraturan bersama antara KY dan MA masih terbentur pada penetapan kewenangan masing-masing lembaga dalam menseleksi dan pengangkatan hakim.
"Dalam hal justifikasi untuk lulus di setiap tahapan, kami minta ada kewenangan KY untuk pleno dalam menetapkan setiap kelulusan. Jadi hakim yang lulus dari panitia seleksi harus disahkan KY melalui pleno. karena bisa saja KY dan masyarakat menemukan sesuatu yang tidak baik. Tapi ini jaga-jaga saja," imbuhnya.
Diakuinya, peraturan bersama terkendala dari MA yang menginginkan agar panitia seleksi yang dibentuk memiliki kewenangan penuh proses seleksi hakim dari pendaftaran hingga kelulusan. Namun, KY meminta agar di tahapan terakhir, para calon hakim harus melewati mekanisme pleno.
"MA meminta panitia pelaksana diberikan kewenangan penuh sampai kelulusan. Tapi kalau kewenangan penuh, berarti tidak ada kontrol dari KY," akunya.
Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suwardi berkilah saat ditanya tentang pembentukan peraturan bersama MA dan KY tentang tahapan rekruitmen hakim. Meski demikian, ia mengakui hambatan terbesar proses rekrutmen hakim terletak pada belum diaturnya payung hukum.
"Sekitar 700, setiap tahun akan dihitung nanti tahun berikutnya nanti. Berapa yang ada dan berapa yang kurang akan dihitung. Pembahasan bukan (tidak selesai) sampai empat tahun, tetapi empat tahun belum ada penerimaan. Baru sempat dibahas lagi sekarang. Baru sempat ketemu beberapa kali," tandasnya.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) acap kali dinilai tidak mampu berkoordinasi untuk menghadirkan sistem peradilan dan mutu hakim yang baik. Hingga saat ini, MA dan KY belum membuat peraturan bersama untuk melakukan proses rekruitmen hakim yang sudah terhenti selama empat tahun.
Pakar tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, proses rekruitmen hakim terbentur pada arogansi antara MA dan KY yang tidak mampu membentuk peraturan bersama pada pengangkatan dan seleksi hakim.
Status hakim yang sudah ditetapkan sebagai pejabat negara menyulitkan proses rekruitmen hakim yang sebelumnya melalui Kementerian Aparatur Negara (Kemenpan). Ia meminta pemerintah baru mendatang diminta untuk membuat Peraturan Presiden (Perpres) untuk menengahi kedua lembaga kehakiman negara tersebut.
"Membuat UU Pejabat Hakim itu memakan waktu lama. Jadi tetap perlu Peraturan Presiden. Ada asumsi kalau presiden mengatur? Itu salah, justru presiden harus berani mengambil tanggung jawab. Di KY dan MA tidak bisa ngatur, berdebat terus," kata Jimly usai menjadi pembicara 'Manajemen Hakim Sebagai Pejabat Negara', di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (9/9/2014).
Ia menambahkan, kebutuhan Perpres ini diakuinya sangat penting, terutama pada tahapan rekruitmen seleksi hakim.
"Selama ini hanya mengandalkan PP seperti kenaikan tunjangan hakim. Jadi hakim bukan khusus sebagai penyelenggara negara tapi hanya dimasukkan dalam PP yang umum itu. Untuk sekadar menjadikan dasar bagi pemerintah memberikan tunjangan sebagai pejabat negara. Tapi aspek yang lain belum diatur. Jadi sejalan dengan aturan itu dibutuhkan Peraturan Presiden," imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner KY Taufiqqurahman Syahuri mengatakan, tingkat urgensi kebutuhan hakim di seluruh Indonesia sudah sangat tinggi. Menurutnya, negara membutuhkan sedikitnya 700 hakim untuk mengisi kekosongan di seluruh kamar peradilan.
"Ini dosa bersama MA dan KY apabila tidak ada seleksi hakim. Kebutuhan 700, tapi ini sekitar 350 hakim. Tahun ini harus bisa seleksi. Tapi persoalannya peraturan bersamanya belum selesai," kata Taufiq. Ia menambahkan, Seleksi proses seleksi dan pengangkatan hakim dilakukan bersama MA dan KY.
Kemudian ia juga menargetkan peraturan bersama MA dan KY dalam tahapan seleksi hakim bisa selesai pada September 2014. Namun diakuinya, pembentukan peraturan bersama antara KY dan MA masih terbentur pada penetapan kewenangan masing-masing lembaga dalam menseleksi dan pengangkatan hakim.
"Dalam hal justifikasi untuk lulus di setiap tahapan, kami minta ada kewenangan KY untuk pleno dalam menetapkan setiap kelulusan. Jadi hakim yang lulus dari panitia seleksi harus disahkan KY melalui pleno. karena bisa saja KY dan masyarakat menemukan sesuatu yang tidak baik. Tapi ini jaga-jaga saja," imbuhnya.
Diakuinya, peraturan bersama terkendala dari MA yang menginginkan agar panitia seleksi yang dibentuk memiliki kewenangan penuh proses seleksi hakim dari pendaftaran hingga kelulusan. Namun, KY meminta agar di tahapan terakhir, para calon hakim harus melewati mekanisme pleno.
"MA meminta panitia pelaksana diberikan kewenangan penuh sampai kelulusan. Tapi kalau kewenangan penuh, berarti tidak ada kontrol dari KY," akunya.
Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suwardi berkilah saat ditanya tentang pembentukan peraturan bersama MA dan KY tentang tahapan rekruitmen hakim. Meski demikian, ia mengakui hambatan terbesar proses rekrutmen hakim terletak pada belum diaturnya payung hukum.
"Sekitar 700, setiap tahun akan dihitung nanti tahun berikutnya nanti. Berapa yang ada dan berapa yang kurang akan dihitung. Pembahasan bukan (tidak selesai) sampai empat tahun, tetapi empat tahun belum ada penerimaan. Baru sempat dibahas lagi sekarang. Baru sempat ketemu beberapa kali," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)