medcom.id, Jakarta: Pemilihan kepala daerah Kabupaten Jayapura, Papua, bisa disebut pilkada terlama. Penyebabnya, tindakan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengeluarkan rekomendasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar mendiskualifikasi calon bupati petahana Mathius Awoitauw.
Mathius dianggap melanggar Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai rekomendasi Bawaslu tersebut keliru dan bisa menimbulkan kesan adanya konflik kepentingan yang melibatkan Bawaslu.
"Menurut saya, keputusan Bawaslu tidak tepat karena pasal 71 tidak bisa dibaca berdiri sendiri. Jadi, harus dibaca secara keseluruhan," kata Refly dalam keterangan tertulis, Kamis 5 Oktober 2017.
Bawaslu, kata dia, membaca pasal itu sebatas pada tindakan Mathius melakukan mutasi. Bawaslu tak melihat kadar dari keputusan itu. "Tak masuk akal jika mutasi disebut menguntungkan Mathius karena hal itu dilakukan usai pemungutan suara," kata Refly.
Lebih tepat, kata Refly, perkara ini dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri. "Biarlah Mendagri yang menentukan, apakah pemberhentian tersebut sah atau tidak," kata doktor ilmu hukum jebolan University of Notre Dame Amerika Serikat itu.
Baca: NasDem akan Laporkan Bawaslu ke DKPP
Lebih lanjut Refly mengatakan, Bawaslu seharusnya berhati-hati mengeluarkan rekomendasi pencoretan calon. Apalagi calon tersebut dalam posisi unggul.
"Bawaslu merekomendasikan seseorang untuk dicoret dan kemudian memaksa KPU mencoretnya. Ini akan menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan)," ujar Refly.
Master Hukum lulusan Universitas Indonesia ini menambahkan, pencoretan atau pembatalan kemenangan salah satu calon di pilkada merupakan sanksi yang berat.
"Seharusnya Bawaslu menggunakan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa atau menyidangkan suatu hal."
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/aNrwl5Pb" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Pemilihan kepala daerah Kabupaten Jayapura, Papua, bisa disebut pilkada terlama. Penyebabnya, tindakan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengeluarkan rekomendasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar mendiskualifikasi calon bupati petahana Mathius Awoitauw.
Mathius dianggap melanggar Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai rekomendasi Bawaslu tersebut keliru dan bisa menimbulkan kesan adanya konflik kepentingan yang melibatkan Bawaslu.
"Menurut saya, keputusan Bawaslu tidak tepat karena pasal 71 tidak bisa dibaca berdiri sendiri. Jadi, harus dibaca secara keseluruhan," kata Refly dalam keterangan tertulis, Kamis 5 Oktober 2017.
Bawaslu, kata dia, membaca pasal itu sebatas pada tindakan Mathius melakukan mutasi. Bawaslu tak melihat kadar dari keputusan itu. "Tak masuk akal jika mutasi disebut menguntungkan Mathius karena hal itu dilakukan usai pemungutan suara," kata Refly.
Lebih tepat, kata Refly, perkara ini dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri. "Biarlah Mendagri yang menentukan, apakah pemberhentian tersebut sah atau tidak," kata doktor ilmu hukum jebolan University of Notre Dame Amerika Serikat itu.
Baca: NasDem akan Laporkan Bawaslu ke DKPP
Lebih lanjut Refly mengatakan, Bawaslu seharusnya berhati-hati mengeluarkan rekomendasi pencoretan calon. Apalagi calon tersebut dalam posisi unggul.
"Bawaslu merekomendasikan seseorang untuk dicoret dan kemudian memaksa KPU mencoretnya. Ini akan menimbulkan
conflict of interest (konflik kepentingan)," ujar Refly.
Master Hukum lulusan Universitas Indonesia ini menambahkan, pencoretan atau pembatalan kemenangan salah satu calon di pilkada merupakan sanksi yang berat.
"Seharusnya Bawaslu menggunakan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa atau menyidangkan suatu hal."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)