Jakarta: Safe house atau rumah aman bagi para jaksa yang menangani perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nopriansyah Yoshua Hutabarat belum dibutuhkan. Pembentukan safe house justru dinilai mengaburkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
"Kalau sampai ada safe house, itu biaya mahal, ada sewa pengamanan," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho saat dihubungi Media Indonesia dari Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2022.
Menurut Hibnu, proses penyidikan secara ilmiah atau scientific yang dijalankan penyidik Bareskrim sebelumnya telah memakan biaya yang tidak sedikit. Ini antara lain dengan dilakukannya otopsi ulang terhadap jenazah Yoshua, pemanfaatan lie detector, serta penggunaan forensik digital.
Oleh karenanya, aparat penegak hukum diminta tidak lagi mengeluarkan anggaran yang berlebih dalam proses penuntutan di persidangan. Lebih lanjut, Hibnu berpendapat bahwa perkara yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo dan sang istri, Putri Candrawathi, mendapat atensi dari seluruh bangsa, termasuk Presiden Joko Widodo.
"Saya rasa jaksa tidak akan main-main. Dan itu merupakan taruhan bagi Kejaksaan Agung untuk menjaga muruahnya, sehingga hal-hal yang seperti itu (safe house) enggak perlu," ujar dia.
Dalam konferensi pers pada Kamis, 5 Oktober kemarin, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumahan menyebut pembentukan safe house sebagai ide yang baik. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa Kejaksaan telah memiliki sistem pengamanan sendiri untuk menghindari adanya intervensi terhadap jaksa.
"Kami pastikan Kejaksaan Agung tidak dapat diintervensi karena kami harus jaga netralitas dalam proses penanganan perkara. Di dunia digital saat ini, sudah tidak ada yang dapat kita tutup-tutupi," ujar dia.
Diketahui, setidaknya ada 75 jaksa yang terlibat dalam perkara pembunuhan Yoshua. Sebanyak 30 jaksa menangani perkara pembunuhan berencana dengan lima tersangka, termasuk Sambo dan Putri. Sedangkan 45 lainnya menangani perkara merintangi penyidikan atau obstruction of justice untuk tujuh tersangka, termasuk Sambo.
Jakarta:
Safe house atau rumah aman bagi para
jaksa yang menangani perkara pembunuhan berencana terhadap
Brigadir J atau Nopriansyah Yoshua Hutabarat belum dibutuhkan. Pembentukan
safe house justru dinilai mengaburkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
"Kalau sampai ada
safe house, itu biaya mahal, ada sewa pengamanan," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho saat dihubungi Media Indonesia dari Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2022.
Menurut Hibnu, proses penyidikan secara ilmiah atau
scientific yang dijalankan penyidik Bareskrim sebelumnya telah memakan biaya yang tidak sedikit. Ini antara lain dengan dilakukannya otopsi ulang terhadap jenazah Yoshua, pemanfaatan
lie detector, serta penggunaan forensik digital.
Oleh karenanya, aparat penegak hukum diminta tidak lagi mengeluarkan anggaran yang berlebih dalam proses penuntutan di persidangan. Lebih lanjut, Hibnu berpendapat bahwa perkara yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri
Ferdy Sambo dan sang istri, Putri Candrawathi, mendapat atensi dari seluruh bangsa, termasuk Presiden Joko Widodo.
"Saya rasa jaksa tidak akan main-main. Dan itu merupakan taruhan bagi Kejaksaan Agung untuk menjaga muruahnya, sehingga hal-hal yang seperti itu (
safe house) enggak perlu," ujar dia.
Dalam konferensi pers pada Kamis, 5 Oktober kemarin, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (
JAM-Pidum) Fadil Zumahan menyebut pembentukan
safe house sebagai ide yang baik. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa Kejaksaan telah memiliki sistem pengamanan sendiri untuk menghindari adanya intervensi terhadap jaksa.
"Kami pastikan Kejaksaan Agung tidak dapat diintervensi karena kami harus jaga netralitas dalam proses penanganan perkara. Di dunia digital saat ini, sudah tidak ada yang dapat kita tutup-tutupi," ujar dia.
Diketahui, setidaknya ada 75 jaksa yang terlibat dalam perkara pembunuhan Yoshua. Sebanyak 30 jaksa menangani perkara pembunuhan berencana dengan lima tersangka, termasuk Sambo dan Putri. Sedangkan 45 lainnya menangani perkara merintangi penyidikan atau
obstruction of justice untuk tujuh tersangka, termasuk Sambo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)