medcom.id, Jakarta: Telegram Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal penegak hukum harus izin Kapolri saat memanggil anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan dan memasuki lingkungan Markas Komando Polri (Mako Polri) dipertanyakan. Peneliti Hukum ICW, Lalola Easter mempertanyakan dasar dikeluarkannya telegram tersebut.
"Apa dasar Kapolri melalui Kadivpropam Polri Irjen Pol Idham Azis untuk mengeluarkan telegram kepada para Kapolda. Karena sebetulnya pengaturan soal penggeledahan dan soal penyitaan itu sudah diatur cukup di dalam KUHAP," kata Lalola seperti dilansir Antara, saat konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, Senin, (19/12/2016).
KUHAP sudah mengatur hal-hal tersebut dengan cukup. Misalnya Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang mewajibkan adanya izin dari ketua pengadilan negeri bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan.
"Bahkan dalam surat telegram itu disebutkan pengadilan pun ketika ingin melakukan, misalnya pemanggilan sekalipun, harus melalui izin Kapolri atau Kadivpropam. Ini yang dipertanyakan, apa legitimasi atau dasar legitimasi Kapolri untuk menggatur lembaga-lembaga lain yang ada di luar yurisdiksinya," tuturnya.
Hal serupa, kata dia, berlaku pula dalam pemanggilan tersangka atau saksi karena pemanggilan berdasarkan Pasal 112 KUHAP. Pemanggilan dapat dilakukan selama sudah ada surat panggilan dengan jangka waktu yang wajar.
"Pertanyaan yang sama juga berlaku untuk keharusan dan kewajiban memperoleh izin dari Kapolri untuk memeriksa anggotanya. Mengapa perlu mendapatkan izin dari Kapolri lagi, jika sudah ada surat pemanggilan yang sah," katanya.
Ia menilai apabila betul telegram ini dikeluarkan dan diketahui Kapolri, pengeluarannya serta penyebarluasannya kepada para kapolda harus diklarifikasi atau bahkan dicabut.
"Selain ketidakjelasan baik dari sisi teknis pengeluaran telegram, juga tidak jelas dari sisi substansinya. Dari pada menciptakan kebingungan dan menciptakan ketegangan di antara para penegak hukum antara lain kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK mending dicabut sekalian," ucap Laloa.
Pada 14 Desember 2016, Kapolri melalui Kadivpropam Polri
mengeluarkan surat telegram dengan Nomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM. Telegram tersebut intinya berisi imbauan kepada kapolda yaitu kewajiban para penegak hukum antara lain KPK, kejaksaan, dan bahkan pengadilan untuk memperoleh izin dari Kapolri untuk memanggil anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memasuki lingkungan Markas Komando Polri.
medcom.id, Jakarta: Telegram Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal penegak hukum harus izin Kapolri saat memanggil anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan dan memasuki lingkungan Markas Komando Polri (Mako Polri) dipertanyakan. Peneliti Hukum ICW, Lalola Easter mempertanyakan dasar dikeluarkannya telegram tersebut.
"Apa dasar Kapolri melalui Kadivpropam Polri Irjen Pol Idham Azis untuk mengeluarkan telegram kepada para Kapolda. Karena sebetulnya pengaturan soal penggeledahan dan soal penyitaan itu sudah diatur cukup di dalam KUHAP," kata Lalola seperti dilansir
Antara, saat konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, Senin, (19/12/2016).
KUHAP sudah mengatur hal-hal tersebut dengan cukup. Misalnya Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang mewajibkan adanya izin dari ketua pengadilan negeri bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan.
"Bahkan dalam surat telegram itu disebutkan pengadilan pun ketika ingin melakukan, misalnya pemanggilan sekalipun, harus melalui izin Kapolri atau Kadivpropam. Ini yang dipertanyakan, apa legitimasi atau dasar legitimasi Kapolri untuk menggatur lembaga-lembaga lain yang ada di luar yurisdiksinya," tuturnya.
Hal serupa, kata dia, berlaku pula dalam pemanggilan tersangka atau saksi karena pemanggilan berdasarkan Pasal 112 KUHAP. Pemanggilan dapat dilakukan selama sudah ada surat panggilan dengan jangka waktu yang wajar.
"Pertanyaan yang sama juga berlaku untuk keharusan dan kewajiban memperoleh izin dari Kapolri untuk memeriksa anggotanya. Mengapa perlu mendapatkan izin dari Kapolri lagi, jika sudah ada surat pemanggilan yang sah," katanya.
Ia menilai apabila betul telegram ini dikeluarkan dan diketahui Kapolri, pengeluarannya serta penyebarluasannya kepada para kapolda harus diklarifikasi atau bahkan dicabut.
"Selain ketidakjelasan baik dari sisi teknis pengeluaran telegram, juga tidak jelas dari sisi substansinya. Dari pada menciptakan kebingungan dan menciptakan ketegangan di antara para penegak hukum antara lain kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK mending dicabut sekalian," ucap Laloa.
Pada 14 Desember 2016, Kapolri melalui Kadivpropam Polri
mengeluarkan surat telegram dengan Nomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM. Telegram tersebut intinya berisi imbauan kepada kapolda yaitu kewajiban para penegak hukum antara lain KPK, kejaksaan, dan bahkan pengadilan untuk memperoleh izin dari Kapolri untuk memanggil anggota Polri, melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memasuki lingkungan Markas Komando Polri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)