Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara terhadap terdakwa kasus korupsi KTP-el, Setya Novanto. Dalam amar putusan, hakim menilai, Novanto terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.
Dalam putusan itu, hakim memasukkan 26 nama, termasuk korporasi, yang mendapatkan keuntungan dari korupsi pengadaan proyek senilai Rp5,8 triliun itu. Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail menilai, nama-nama yang disebut dalam vonis kliennya itu tak berperan signifikan.
"Nama-nama yang disebut, terbatas pada orang-orang tidak banyak perannya dalam perkara KTP-el ini," kata Maqdir kepada Medcom.id, Rabu, 25 April 2018.
Maqdir kecewa sejumlah nama dalam dakwaan dua terpidana KTP-el sebelumnya, Irman dan Sugiharto, hilang. Dia bilang, ini juga sudah dipermasalahkan sejak sidang eksepsi Novanto.
"Nama-nama tersebut lenyap sejak dalam perkaranya Andi Agustinus. Hanya disebut beberapa anggota DPR, tidak jelas siapa saja. Jangan lupa loh ini nilainya cukup besar, karena mencapai USD12,8 juta dan Rp 44 miliar," imbuh Maqdir.
(Baca juga: Novanto Terbukti Perkaya Pihak Lain dari Proyek KTP-el)
Sejumlah nama politikus yang hilang dalam dakwaan Novanto berasal dari PDI Perjuangan. Mereka di antaranya Ganjar Pranowo yang disebut menerima USD520 ribu, Yasonna Laoly disebut menerima USD84 ribu, dan Olly Dondokambey disebut menerima USD1,2 juta.
"Yang konsisten disebut hanya Pak Jafar Hafsah, Pak Ade Komarudin, Ibu Miriam dan Pak Markus Nari," kata Maqdir.
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman15 tahun penjara terhadap terdakwa korupsi KTP-el Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI itu juga dihukum membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 2 tahun kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Novanto selama 5 tahun.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/GNlAj5gb" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara terhadap terdakwa kasus korupsi KTP-el, Setya Novanto. Dalam amar putusan, hakim menilai, Novanto terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.
Dalam putusan itu, hakim memasukkan 26 nama, termasuk korporasi, yang mendapatkan keuntungan dari korupsi pengadaan proyek senilai Rp5,8 triliun itu. Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail menilai, nama-nama yang disebut dalam vonis kliennya itu tak berperan signifikan.
"Nama-nama yang disebut, terbatas pada orang-orang tidak banyak perannya dalam perkara KTP-el ini," kata Maqdir kepada
Medcom.id, Rabu, 25 April 2018.
Maqdir kecewa sejumlah nama dalam dakwaan dua terpidana KTP-el sebelumnya, Irman dan Sugiharto, hilang. Dia bilang, ini juga sudah dipermasalahkan sejak sidang eksepsi Novanto.
"Nama-nama tersebut lenyap sejak dalam perkaranya Andi Agustinus. Hanya disebut beberapa anggota DPR, tidak jelas siapa saja. Jangan lupa loh ini nilainya cukup besar, karena mencapai USD12,8 juta dan Rp 44 miliar," imbuh Maqdir.
(Baca juga:
Novanto Terbukti Perkaya Pihak Lain dari Proyek KTP-el)
Sejumlah nama politikus yang hilang dalam dakwaan Novanto berasal dari PDI Perjuangan. Mereka di antaranya Ganjar Pranowo yang disebut menerima USD520 ribu, Yasonna Laoly disebut menerima USD84 ribu, dan Olly Dondokambey disebut menerima USD1,2 juta.
"Yang konsisten disebut hanya Pak Jafar Hafsah, Pak Ade Komarudin, Ibu Miriam dan Pak Markus Nari," kata Maqdir.
Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman15 tahun penjara terhadap terdakwa korupsi KTP-el Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI itu juga dihukum membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dituntut membayar uang pengganti sebesar USD7,3 juta dikurangi uang yang telah dikembalikan Rp5 miliar subsider 2 tahun kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Novanto selama 5 tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)