medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada. Pemohon menggugat pasal 158 ayat 1 dan ayat 2.
Pasal 158 ayat 1 mengatur tentang permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan, ayat 2 mengatur tentang permohonan pembatalan hasil penghitungan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dua ayat dalam pasal ini memberikan batasan maksimal untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara. Permohonan dengan nomor perkara 58/PUU-XII/2015 ini diajukan Mohammad Ibnu, Fahatul Azmi, Octianus, Iwan Firdaus, dan Muhammad Rizki.
Lima orang pemohon merupakan warga Kota Tangerang Selatan, Banten, yang saat pilkada lalu mengalami pengulangan akibat adanya kecurangan dalam pelaksanaan pilkada.
"Pemohon menyatakan apabila terdapat calon tertentu yang telah dipilih rakyat seharusnya menang dalam pemilu, kemudian tidak terpilih karena adanya kecurangan yang dilakukan calon lain dengan selisih perolehan suara cukup besar, maka mengakibatkan pelanggaran kehendak rakyat dan tidak terwujudnya pembentukan pemerintahan secara demokrasi," kata Kuasa Hukum Pemohon Badrul Munir dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2015).
Pemohon menjelaskan, secara formil, UU nomor 8 tahun 2015 ini membuat pengurangan hak hukum dan mencabut hak konstitusional warga negara. UU ini dianggap tak memberikan keadilan secara proporsional kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pemohon menyebut pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan prinsip penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Sidang dipimpin Hakim MK Patrialis Akbar bersama dengan Hakim Manahan Sitompul dan I Dewa Palguna.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada. Pemohon menggugat pasal 158 ayat 1 dan ayat 2.
Pasal 158 ayat 1 mengatur tentang permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan, ayat 2 mengatur tentang permohonan pembatalan hasil penghitungan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dua ayat dalam pasal ini memberikan batasan maksimal untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara. Permohonan dengan nomor perkara 58/PUU-XII/2015 ini diajukan Mohammad Ibnu, Fahatul Azmi, Octianus, Iwan Firdaus, dan Muhammad Rizki.
Lima orang pemohon merupakan warga Kota Tangerang Selatan, Banten, yang saat pilkada lalu mengalami pengulangan akibat adanya kecurangan dalam pelaksanaan pilkada.
"Pemohon menyatakan apabila terdapat calon tertentu yang telah dipilih rakyat seharusnya menang dalam pemilu, kemudian tidak terpilih karena adanya kecurangan yang dilakukan calon lain dengan selisih perolehan suara cukup besar, maka mengakibatkan pelanggaran kehendak rakyat dan tidak terwujudnya pembentukan pemerintahan secara demokrasi," kata Kuasa Hukum Pemohon Badrul Munir dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2015).
Pemohon menjelaskan, secara formil, UU nomor 8 tahun 2015 ini membuat pengurangan hak hukum dan mencabut hak konstitusional warga negara. UU ini dianggap tak memberikan keadilan secara proporsional kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pemohon menyebut pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan prinsip penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Sidang dipimpin Hakim MK Patrialis Akbar bersama dengan Hakim Manahan Sitompul dan I Dewa Palguna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(KRI)