Jakarta: Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, membeberkan lima cara memulihkan sekaligus meningkatkan skor corruption perception index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pemulihan ini mesti didukung seluruh unsur masyarakat dan pemerintah.
"Pertama adalah memperteguh political will atau kemauan politik. Benar-benar kemauan politik yang sungguh-sungguh," kata Azra dalam diskusi virtual bertajuk 'Meningkatkan Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia', Kamis, 11 Februari 2021.
Menurut Azra, situasi politik di Indonesia diwarnai gimik atau rekayasa. Dalam pengambilan keputusan, konsistensi justru semakin meredup.
"Karena di berbagai penelitian dan survei pemberantasan korupsi kunci yang paling pertama political will, ketegasan, konsistensi dari pemimpin puncak," ujar Azra.
Azra mencontohkan tidak ada niat pemerintah dalam pemberantasan korupsi ketika terbitnya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah seharusnya merespons sikap masyarakat yang menolak produk hukum tersebut dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas hasil revisi UU KPK.
"Bagi kita kalangan masyarakat sipil ada lebih 70 orang itu diterima di Istana ketika perubahan revisi UU itu, tidak laik. Hanya melemahkan KPK, tidak ada yang lain," ucap Azra.
Cara kedua, yakni reformasi politik. Ketika tidak ada political will, kata Azra, konspirasi dan persekongkolan aktor politik semakin tinggi.
Azra mengatakan persekongkolan itu menciptakan kondisi elite politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kemudian, melahirkan produk hukum atau kebijakan yang tidak memenuhi hajat hidup orang banyak. Sehingga, ada potensi korupsi dalam persekongkolan itu.
"Budaya politik itulah kemudian menciptakan misalnya money politics, yang merajalela di berbagai tingkatan," kata Azra.
Baca: Reaksi Istana atas Anjloknya Persepsi Korupsi Indonesia
Cara ketiga, yakni memulihkan lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian. Kredibilitas para penegak hukum harus ditegakkan, khususnya komitmen pemberantasan korupsi.
Lembaga peradilan juga mesti mendukung pemberantasan korupsi. Caranya dengan tidak memberi ruang meringankan hukuman koruptor. Misalnya, Mahkamah Agung (MA) banyak mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi pada 2020.
Cara keempat, yakni memulihkan kembali regulasi UU yang berhubungan dengan antikorupsi. Menurut Azra, saat ini UU KPK dan tindak pidana korupsi belum mampu menegaskan posisi Indonesia untuk melawan korupsi.
Cara kelima adalah dengan membangun budaya antikorupsi. Misalnya, mengganti semua transaksi tunai dengan elektronik.
Azra menilai transaksi elektronik mampu meminimalisir praktik korupsi. Sebab, aliran uang tercatat dalam jejak digital.
"Sehingga enggak ada lagi pemotongan-pemotongan transaksi," ujar Azra.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat IPK Indonesia menurun pada 2020. Indonesia masih berada di peringkat 85 dari 180 negara dengan skor 40 pada 2019.
Posisi Indonesia merosot tajam menjadi peringkat 102 dengan skor 37 pada 2020. IPK kali ini dinilai menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan merombak ulang kebijakan pemberantasan korupsi.
Jakarta: Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, membeberkan lima cara memulihkan sekaligus meningkatkan skor
corruption perception index (CPI) atau Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia. Pemulihan ini mesti didukung seluruh unsur masyarakat dan pemerintah.
"Pertama adalah memperteguh
political will atau kemauan politik. Benar-benar kemauan politik yang sungguh-sungguh," kata Azra dalam diskusi virtual bertajuk 'Meningkatkan Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia', Kamis, 11 Februari 2021.
Menurut Azra, situasi politik di Indonesia diwarnai gimik atau rekayasa. Dalam pengambilan keputusan, konsistensi justru semakin meredup.
"Karena di berbagai penelitian dan survei pemberantasan korupsi kunci yang paling pertama
political will, ketegasan, konsistensi dari pemimpin puncak," ujar Azra.
Azra mencontohkan tidak ada niat pemerintah dalam pemberantasan korupsi ketika terbitnya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah seharusnya merespons sikap masyarakat yang menolak produk hukum tersebut dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas hasil revisi UU
KPK.
"Bagi kita kalangan masyarakat sipil ada lebih 70 orang itu diterima di Istana ketika perubahan revisi UU itu, tidak laik. Hanya melemahkan KPK, tidak ada yang lain," ucap Azra.
Cara kedua, yakni reformasi politik. Ketika tidak ada
political will, kata Azra, konspirasi dan persekongkolan aktor politik semakin tinggi.
Azra mengatakan persekongkolan itu menciptakan kondisi elite politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kemudian, melahirkan produk hukum atau kebijakan yang tidak memenuhi hajat hidup orang banyak. Sehingga, ada potensi korupsi dalam persekongkolan itu.
"Budaya politik itulah kemudian menciptakan misalnya
money politics, yang merajalela di berbagai tingkatan," kata Azra.
Baca: Reaksi Istana atas Anjloknya Persepsi Korupsi Indonesia
Cara ketiga, yakni memulihkan lembaga penegak hukum seperti KPK,
Kejaksaan Agung, dan kepolisian. Kredibilitas para penegak hukum harus ditegakkan, khususnya komitmen pemberantasan korupsi.
Lembaga peradilan juga mesti mendukung pemberantasan korupsi. Caranya dengan tidak memberi ruang meringankan hukuman koruptor. Misalnya, Mahkamah Agung (MA) banyak mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi pada 2020.
Cara keempat, yakni memulihkan kembali regulasi UU yang berhubungan dengan antikorupsi. Menurut Azra, saat ini UU KPK dan tindak pidana korupsi belum mampu menegaskan posisi Indonesia untuk melawan korupsi.
Cara kelima adalah dengan membangun budaya antikorupsi. Misalnya, mengganti semua transaksi tunai dengan elektronik.
Azra menilai transaksi elektronik mampu meminimalisir praktik korupsi. Sebab, aliran uang tercatat dalam jejak digital.
"Sehingga enggak ada lagi pemotongan-pemotongan transaksi," ujar Azra.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat IPK Indonesia menurun pada 2020. Indonesia masih berada di peringkat 85 dari 180 negara dengan skor 40 pada 2019.
Posisi Indonesia merosot tajam menjadi peringkat 102 dengan skor 37 pada 2020. IPK kali ini dinilai menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan merombak ulang kebijakan pemberantasan korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)