Pengadilan. Foto: MI/Susanto.
Pengadilan. Foto: MI/Susanto.

Jaminan Kepastian Hukum Indonesia Diuji

20 September 2018 10:21
Jakarta: Vonis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana (Tipikor) terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbanlan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dianggap menjadi tolok ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia. Syafruddin terseret kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) pada 2004. 
 
"Majelis hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya oleh kalangan dunia usaha," kata ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan dalam keterangan tertulis, Rabu, 19 September 2018.
 
Menurut Fadhil, Syafruddin sebenarnya menjalankan keputusan politik pemerintah yang sedang berusaha keras keluar dari krisis ekonomi. Pemberian SKL tersebut dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yang kooperatif dan telah memenuhi kewajibannya.

"Sementara itu, sesuai data Kementrian Keuangan masih banyak obligor BLBI yang hingga saat ini tidak kooperatif dan sengaja menghindari kewajiban mereka," jelas dia.
 
Pemegang saham BDNI, kata dia, telah membayar kewajibannya sesuai skema master of settlement and acquisition agreement (MSAA) pada 1999. Sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA diberikan jaminan kepastian hukum. Masalah ini juga dikuatkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2002.
 
Baca: Hakim Diminta Utamakan Aspek Keadilan
 
Fadhil menggarisbawahi kekhawatiran Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi B Sukamdani yang menerangkan pembongkaran kasus yang sudah lama bisa menimbulkan demotivasi bagi dunia usaha. Hal tersebut tidak produktif di tengah upaya pembangunan nasional yang membutuhkan investasi besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja.
 
Sementara itu, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Syafruddin dengan hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Dia diduga menyalahgunakan wewenang dan memperkaya pihak lain pada kasus SKL BLBI. Majelis hakim akan membacakan keputusannya pada Senin, 24 September 2018. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan