medcom.id, Jakarta: PT Bio Farma (BUMN) tidak memproduksi seluruh jenis vaksin. Karena itu, untuk vaksin tertentu seperti rabies, Indonesia masih tergantung pada produk asing.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menampik Bio Farma memonopoli dari produksi hingga alur distribusi vaksin. Menurut dia, rumah sakit swasta boleh menggunakan vaksin impor.
"Justru tidak boleh monopoli, karena itu kami punya PT Bio Farma dan ada beberapa dari impor," kata Nila di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan (19/7/2016)
Menurut Nila, PT Bio Farma mesti memenuhi kebutuhan delapan vaksin wajib nasional. Sedangkan vaksin rabies tidak wajib, namun dalam perkembangannya tetap dibutuhkan anak.
"Bio Farma tidak menyediakan (vaksin rabies), ini contoh kenapa vaksin impor itu harus ada," ujar Nila.
Menurut Nila, kebutuhan nasional vaksin untuk imunisai wajib telah mencukupi. Kelangkaan justru terjadi pada vaksin impor yang kemudian dimanfaatkan oknum untuk memalsukan vaksin.
"Vaksin impor diperlukan di rumah sakit swasta. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) pernah mengeluh kekurangan vaksin dan itu yang impor," katanya.
Masih di tempat yang sama, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu, Maura Linda Sitanggang menuturkan, ada kelemahan regulasi vaksin impor.
"Vaksin impor dan dalam negeri sama. Seharusnya ada nomor izin edar diproduksi oleh produsen yang berstandar, kemudian didistribusikan oleh perusahaan yang berstandar pula. Saat ini muncul jalur ilegal, itu yang harus dibersihkan," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuding pemerintah tak terbuka dalam menyelidi kasus vaksin palsu. Ia berharap ada proses investigasi komprehensif agar kasus vaksin palsu dapat dituntaskan hingga akarnya.
"Kenapa ada barang monopoli yang tiba-tiba menyebar, dan bisa dipalsukan. Sebetulnya lebih gampang melacaknya, kalau pemerintah melakukan investigasi menyeluruh dan terbuka," kata Fahri, Senin 18 Juli.
Fahri mengaku mendapatkan informasi dari para dokter bahwa vaksin adalah barang monopoli satu BUMN. Kemudian pendistribusiannya oleh empat perusahaan lain.
medcom.id, Jakarta: PT Bio Farma (BUMN) tidak memproduksi seluruh jenis vaksin. Karena itu, untuk vaksin tertentu seperti rabies, Indonesia masih tergantung pada produk asing.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menampik Bio Farma memonopoli dari produksi hingga alur distribusi vaksin. Menurut dia, rumah sakit swasta boleh menggunakan vaksin impor.
"Justru tidak boleh monopoli, karena itu kami punya PT Bio Farma dan ada beberapa dari impor," kata Nila di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan (19/7/2016)
Menurut Nila, PT Bio Farma mesti memenuhi kebutuhan delapan vaksin wajib nasional. Sedangkan vaksin rabies tidak wajib, namun dalam perkembangannya tetap dibutuhkan anak.
"Bio Farma tidak menyediakan (vaksin rabies), ini contoh kenapa vaksin impor itu harus ada," ujar Nila.
Menurut Nila, kebutuhan nasional vaksin untuk imunisai wajib telah mencukupi. Kelangkaan justru terjadi pada vaksin impor yang kemudian dimanfaatkan oknum untuk memalsukan vaksin.
"Vaksin impor diperlukan di rumah sakit swasta. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) pernah mengeluh kekurangan vaksin dan itu yang impor," katanya.
Masih di tempat yang sama, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu, Maura Linda Sitanggang menuturkan, ada kelemahan regulasi vaksin impor.
"Vaksin impor dan dalam negeri sama. Seharusnya ada nomor izin edar diproduksi oleh produsen yang berstandar, kemudian didistribusikan oleh perusahaan yang berstandar pula. Saat ini muncul jalur ilegal, itu yang harus dibersihkan," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuding pemerintah tak terbuka dalam menyelidi kasus vaksin palsu. Ia berharap ada proses investigasi komprehensif agar kasus vaksin palsu dapat dituntaskan hingga akarnya.
"Kenapa ada barang monopoli yang tiba-tiba menyebar, dan bisa dipalsukan. Sebetulnya lebih gampang melacaknya, kalau pemerintah melakukan investigasi menyeluruh dan terbuka," kata Fahri, Senin 18 Juli.
Fahri mengaku mendapatkan informasi dari para dokter bahwa vaksin adalah barang monopoli satu BUMN. Kemudian pendistribusiannya oleh empat perusahaan lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)