Jakarta: Pembahasan RUU KUHP belum usai. Salah satu pasal yang menjadi perhatian ialah pasal penghinaan agama.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) memastikan masih terbuka ruang penyempurnaan terhadap pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP.
Berbagai masukan dari kelompok masyarakat, khususnya cendekiawan dan organisasi keagamaan, masih sangat diperlukan.
"Semangat menyelesaikan RUU KUHP adalah agar menjelang 74 tahun usia kemerdekaan Indonesia, kita punya aturan hukum yang lahir dari rahim bangsa sendiri. Tidak lagi menggunakan aturan hukum warisan kolonial. Pro aktifnya masyarakat dalam memberikan masukan akan sangat berguna, termasuk dalam hal pasal-pasal penghinaan agama ataupun pasal-pasal lainnya," ujar Bamsoet saat menerima kunjungan Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan, di ruang kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Senin, 22 Juli 2019.
Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan terdiri atas berbagai organisasi kemasyarakatan. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Pratiwi Febny (LBH Jakarta), Muhammad Rasyid Ridha (LBH Jakarta), Siti Aminah (ILRC), Pdt Penrad Siagian (Paritas Initiative), Suhadi Sendjaja (N3I), Peter Lesmana (MATAKIN), Trisno Raharjo (Muhammadiyah), RM Agustinus Heri Wibowo (KWI), dan Pdt Lokka (PGI).
KUHP merupakan citra peradaban sebuah bangsa yang harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan politik pemidanaan internasional. Oleh karena itu, penyempurnaan RUU KUHP akan terus dilakukan hingga akhirnya bisa tuntas 100 persen untuk disahkan menjelang DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada September 2019.
"Di dunia internasional, kata penghinaan dalam unsur pemidanaan memang tidak lagi populer. Bisa saja kata penghinaan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam pasal 250 dan 313 RUU KUHP, ditinjau kembali. Karena memang pembahasannya masih berjalan terus, belum tutup buku," tutur Bamsoet.
Jakarta: Pembahasan RUU KUHP belum usai. Salah satu pasal yang menjadi perhatian ialah pasal penghinaan agama.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) memastikan masih terbuka ruang penyempurnaan terhadap pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP.
Berbagai masukan dari kelompok masyarakat, khususnya cendekiawan dan organisasi keagamaan, masih sangat diperlukan.
"Semangat menyelesaikan RUU KUHP adalah agar menjelang 74 tahun usia kemerdekaan Indonesia, kita punya aturan hukum yang lahir dari rahim bangsa sendiri. Tidak lagi menggunakan aturan hukum warisan kolonial. Pro aktifnya masyarakat dalam memberikan masukan akan sangat berguna, termasuk dalam hal pasal-pasal penghinaan agama ataupun pasal-pasal lainnya," ujar Bamsoet saat menerima kunjungan Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan, di ruang kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Senin, 22 Juli 2019.
Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan terdiri atas berbagai organisasi kemasyarakatan. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Pratiwi Febny (LBH Jakarta), Muhammad Rasyid Ridha (LBH Jakarta), Siti Aminah (ILRC), Pdt Penrad Siagian (Paritas Initiative), Suhadi Sendjaja (N3I), Peter Lesmana (MATAKIN), Trisno Raharjo (Muhammadiyah), RM Agustinus Heri Wibowo (KWI), dan Pdt Lokka (PGI).
KUHP merupakan citra peradaban sebuah bangsa yang harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan politik pemidanaan internasional. Oleh karena itu, penyempurnaan RUU KUHP akan terus dilakukan hingga akhirnya bisa tuntas 100 persen untuk disahkan menjelang DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada September 2019.
"Di dunia internasional, kata penghinaan dalam unsur pemidanaan memang tidak lagi populer. Bisa saja kata penghinaan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam pasal 250 dan 313 RUU KUHP, ditinjau kembali. Karena memang pembahasannya masih berjalan terus, belum tutup buku," tutur Bamsoet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)