Jakarta: Menjadi pegiat antikorupsi boleh jadi tak pernah masuk dalam daftar cita-cita masa kecil. Betapa tidak, menekuni profesi sebagai pegiat antikorupsi bahkan sampai menjabat pimpinan tinggi sebuah institusi bisa membuat selera makan dan nikmat tidur seseorang tiba-tiba hilang.
Abraham Samad mungkin salah satunya. Mengawali karier sebagai advokat hingga sempat menjabat sebagai Ketua KPK membuat hidupnya berubah drastis.
Bisa dikatakan perjalanan karier Abraham Samad di KPK terasa manis di awal namun tak berakhir bahagia. Ia diseret ke ranah pidana dengan tuduhan pemalsuan dokumen usai menetapkan petinggi Polri Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kepemilikan rekening gendut.
Samad menyadari bahwa posisinya sebagai pimpinan tertinggi KPK saat itu bukanlah posisi paling aman di level pemerintahan. Perang terhadap korupsi membuat dirinya dianggap 'musuh bersama' oleh para koruptor.
Ia pun menyadari bahwa 'hubungan' antara ketua KPK dan kriminalisasi sangat dekat. Bahkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan.
"Ya kalau Kita sudah siap menjadi pimpinan KPK harus siap juga untuk dikriminalisasi," ungkapnya, dalam Q&A Metro TV, Rabu 20 Desember 2017.
Samad mengatakan ada cara yang bisa dilakukan pimpinan KPK agar tak dikriminalisasi dan terhindar dari ancaman-ancaman. Cukup bekerja biasa saja, jadi 'anak manis', maka 'ketenteraman' hidup mudah didapatkan.
Sepanjang sejarah KPK berdiri di Indonesia, kriminalisasi ternyata tak hanya menimpa Abraham Samad. Ada nama-nama pimpinan KPK lain yang juga disebut mengalami kriminaliasai ketika tengah berupaya memberantas korupsi. Sebutlah Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah.
Meski begitu banyak hal sulit yang dilewati oleh KPK, Samad mengaku tak merasa sedih ketika dirinya mengalami kriminalisasi. Pun hingga Ia meletakkan jabatannya sebagai ketua KPK.
"Satu-satunya kesedihan, mungkin kalau itu muncul secara insidentil, masih banyak pekerjaan rumah yang harus Kita laksanakan terhenti dan tidak ditindaklanjuti oleh penerus Kita. Itu saja," ungkapnya.
Jakarta: Menjadi pegiat antikorupsi boleh jadi tak pernah masuk dalam daftar cita-cita masa kecil. Betapa tidak, menekuni profesi sebagai pegiat antikorupsi bahkan sampai menjabat pimpinan tinggi sebuah institusi bisa membuat selera makan dan nikmat tidur seseorang tiba-tiba hilang.
Abraham Samad mungkin salah satunya. Mengawali karier sebagai advokat hingga sempat menjabat sebagai Ketua KPK membuat hidupnya berubah drastis.
Bisa dikatakan perjalanan karier Abraham Samad di KPK terasa manis di awal namun tak berakhir bahagia. Ia diseret ke ranah pidana dengan tuduhan pemalsuan dokumen usai menetapkan petinggi Polri Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kepemilikan rekening gendut.
Samad menyadari bahwa posisinya sebagai pimpinan tertinggi KPK saat itu bukanlah posisi paling aman di level pemerintahan. Perang terhadap korupsi membuat dirinya dianggap 'musuh bersama' oleh para koruptor.
Ia pun menyadari bahwa 'hubungan' antara ketua KPK dan kriminalisasi sangat dekat. Bahkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan.
"Ya kalau Kita sudah siap menjadi pimpinan KPK harus siap juga untuk dikriminalisasi," ungkapnya, dalam
Q&A Metro TV, Rabu 20 Desember 2017.
Samad mengatakan ada cara yang bisa dilakukan pimpinan KPK agar tak dikriminalisasi dan terhindar dari ancaman-ancaman. Cukup bekerja biasa saja, jadi 'anak manis', maka 'ketenteraman' hidup mudah didapatkan.
Sepanjang sejarah KPK berdiri di Indonesia, kriminalisasi ternyata tak hanya menimpa Abraham Samad. Ada nama-nama pimpinan KPK lain yang juga disebut mengalami kriminaliasai ketika tengah berupaya memberantas korupsi. Sebutlah Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah.
Meski begitu banyak hal sulit yang dilewati oleh KPK, Samad mengaku tak merasa sedih ketika dirinya mengalami kriminalisasi. Pun hingga Ia meletakkan jabatannya sebagai ketua KPK.
"Satu-satunya kesedihan, mungkin kalau itu muncul secara insidentil, masih banyak pekerjaan rumah yang harus Kita laksanakan terhenti dan tidak ditindaklanjuti oleh penerus Kita. Itu saja," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)