Jakarta: Sidang uji materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin. Agenda sidang kedua perkara dengan Nomor 73/PUU-XVI/2018 itu ialah mendengar perbaikan permohonan.
M Raditio Jati Utomo selaku pemohon menjelaskan pihaknya telah memperbaiki dalil permohonan. Ia menyebut definisi terorisme pada Pasal 1 angka 2 UU a quo tidak diberlakukan karena teknik perancangan peraturan perundang-undangan terkait pasal a quo tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pidana.
"Definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang a quo dapat membuat kekhawatiran. Suatu definisi undang-undang tersebut menjadi sangat longgar. Hal tersebut menjadikan bias terhadap definisi terorisme," tegas dia seperti dilansir Media Indonesia, Kamis, 27 September 2018.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat itu, pemohon mengutip pernyataan pendapat hukum dari Yusril Ihza Mahendra di dalam sebuah berita berjudul Tak Perlu Berdebat Panjang Soal Definisi Terorisme pada 2016.
Dia menyatakan definisi akan selalu menimbulkan perdebatan dan definisinya itu selalu tidak bisa mencakup segala hal yang ingin mereka masukkan.
"Bahwa Pasal 1 angka 2 Undang-Undang a quo pun inkonsisten dan bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang a quo karena Pasal 5 Undang-Undang a quo mengatur bahwa tindakan tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Pemohon merupakan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengajukan uji materiil terkait definisi dan motif terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
Faisal Alhaq Harahap dan Muhammad Raditio Jati Utomo selaku pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 2 UU Terorisme.
Pemohon menyatakan definisi terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) khususnya frasa 'dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan' dapat menjadi alat bagi pemegang kekuasaan atau rezim untuk melakukan kriminalisasi. Ia berharap MK dapat mengabulkan gugatan mereka.
Jakarta: Sidang uji materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin. Agenda sidang kedua perkara dengan Nomor 73/PUU-XVI/2018 itu ialah mendengar perbaikan permohonan.
M Raditio Jati Utomo selaku pemohon menjelaskan pihaknya telah memperbaiki dalil permohonan. Ia menyebut definisi terorisme pada Pasal 1 angka 2 UU a quo tidak diberlakukan karena teknik perancangan peraturan perundang-undangan terkait pasal a quo tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pidana.
"Definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang a quo dapat membuat kekhawatiran. Suatu definisi undang-undang tersebut menjadi sangat longgar. Hal tersebut menjadikan bias terhadap definisi terorisme," tegas dia seperti dilansir
Media Indonesia, Kamis, 27 September 2018.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat itu, pemohon mengutip pernyataan pendapat hukum dari Yusril Ihza Mahendra di dalam sebuah berita berjudul Tak Perlu Berdebat Panjang Soal Definisi Terorisme pada 2016.
Dia menyatakan definisi akan selalu menimbulkan perdebatan dan definisinya itu selalu tidak bisa mencakup segala hal yang ingin mereka masukkan.
"Bahwa Pasal 1 angka 2 Undang-Undang a quo pun inkonsisten dan bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang a quo karena Pasal 5 Undang-Undang a quo mengatur bahwa tindakan tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Pemohon merupakan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengajukan uji materiil terkait definisi dan motif terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
Faisal Alhaq Harahap dan Muhammad Raditio Jati Utomo selaku pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 2 UU Terorisme.
Pemohon menyatakan definisi terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) khususnya frasa 'dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan' dapat menjadi alat bagi pemegang kekuasaan atau rezim untuk melakukan kriminalisasi. Ia berharap MK dapat mengabulkan gugatan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)