Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar L Bondan. Foto: MI/Immanuel Antonius
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar L Bondan. Foto: MI/Immanuel Antonius

KontraS Gelar Perkara 'Pemidanaan yang Dipaksakan'

Wandi Yusuf • 19 November 2015 22:24
medcom.id, Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar perkara 'Pemidanaan yang Dipaksakan' atau kriminalisasi beberapa kasus pidana yang menimpa masyarakat di Jakarta.
 
Acara tersebut mengupas bentuk kriminalisasi dari para penegak hukum seperti yang dialami Ismail untuk kasus hilangnya uang di ATM, para petugas kebersihan dalam kasus Jakarta International School, Sulton sebagai aktivis buruh, Opung Widadi dengan kasus supporter bola, dan Maulana seorang yang sedang menjalani pengobatan ketergantungan narkoba. 
 
Gelar perkara tersebut dilaksanakan di Museum Gedung Joang ‘45 pada Selasa, 17 November lalu. Kontras menghadirkan pakar hukum Universitas Indonesia Ganjar L. Bondan dan mantan Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta. Dalam pandangan kedua ahli hukum tersebut, tindak kriminalisasi sering terjadi dan memiliki beberapa indikator. "Dugaan tindak kriminalisasi mudah terlihat dari proses penyelidikan yang cepat, tidak transparan dan cenderung disertai kekerasan," kata Ganjar.

Lebih lanjut, Ganjar mengatakan kriminalisasi dapat dilakukan oleh para penegak hukum mana pun dan kepada siapa saja. Salah satunya, bila para penegak hukum tidak bertujuan untuk mencari kebenaran materi dari suatu kasus.
 
"Proses hukum acara (penyelidikan dan penyidikan) merupakan bagian yang sangat penting dalam penegakan hukum, karena justru proses hukum acara itu bisa menunjukkan kepada kita apakah dasar untuk proses hukum itu benar atau tidak. Ini termasuk menjadi alat ukur untuk menemukan kebenaran substansi," kata dia.
 
Hal ini bisa terlihat dari kasus yang dialami enam petugas kebersihan PT ISS di JIS yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap MAK, murid sekolah TK pada 2014 lalu. "Dalam kasus JIS, betul telah terjadi proses hukum yang tidak prudent bahkan terjadi pelanggaran hukum yang serius. Sejak awal kasus, informasi ini sangat tertutup, karena itu patut dicurigai sejak awal tidak proper atau tidak prudent dalam proses penyelidikan," kata dia.
 
Kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap MAK telah menyeret enam pekerja kebersihan PT ISS yang ditempatkan di JIS. Mereka adalah Azwar, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Firgiawan Amin, Syahrial dan juga menyeret Afriska yang merupakan satu-satunya petugas perempuan. Mereka menjalani proses penyelidikan dengan kekerasan tanpa didampingi penasehat hukum.
 
Saat dalam tahanan Polda Metro Jaya, Azwar bahkan akhirnya meninggal dunia karena penyiksaan tersebut. Beruntung, Afriska yang sejak awal didampingi penasehat hukum tidak mengalami penyiksaan seperti kelima rekannya.
 
Mantan Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta menilai dalam kasus JIS dan kasus yang terindikasi tindak kriminalisasi, para penegak hukum tidak berusaha mencari kebenaran meteriil. Mereka mengabaikan semua fakta dan alat bukti yang ada. 
 
"Kasus ini sangat tinggi tuntutan publik yang menunggu pelakunya cepat ditemukan sehingga cenderung memaksakan seseorang menjadi tersangka. Untuk kasus JIS kelihatan sekali nuansa untuk mengejar pelaku, siapapun orangnya, apapun alasannya harus ada orang yang tertuduh sebagai pelaku," katanya.
 
Pada akhir 2014, kelima petugas kebersihan ini harus menerima vonis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 7-8 tahun.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan