Sidang pembacaan duplik dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Sidang pembacaan duplik dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Djoko Tjandra Kukuh Mengaku sebagai Korban, Bukan Pelaku Utama

Fachri Audhia Hafiez • 25 Maret 2021 16:19
Jakarta: Terdakwa kasus suap penghapusan red notice dan pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA), Djoko Soegiarto Tjandra, kukuh menyatakan diri sebagai korban. Hal itu disampaikan Djoko dalam duplik melalui kuasa hukumnya.
 
"Terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra bukanlah pelaku utama, melainkan korban dari penipuan yang dilakukan oleh pihak-pihak," kata kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Maret 2021.
 
Djoko Tjandra mengaku termakan janji-janji sejumlah pihak yang ingin membantu menyelesaikan perkaranya. Djoko Tjandra berupaya mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus hak tagih Bank Bali. Dia selaku terpidana perkara tersebut.

"Niatnya hendak melakukan upaya hukum PK setelah action plan (proposal pengurusan hukum) dia batalkan dan upaya hukum permohonan Fatwa MA yang dijanjikan oleh saksi Pinangki Sirna Malasari tidak terwujud dan tidak lebih daripada hanya suatu penipuan belaka," ucap Soesilo.
 
Soesilo juga menyinggung ditolaknya permohonan justice collaborator oleh jaksa. Dia menuding jaksa keliru memahami perkara.
 
"Terdakwa membantu mengungkapkan berbagai informasi penting dan pertama ketika penyidik belum menemukan barang bukti apa pun atas dugaan perbuatan pidana a quo, seperti dokumen action plan, berbagai manifes, dan jadwal penerbangan terdakwa, dan sebagainya," ujar Soesilo.

Tuntutan hukum

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Djoko Tjandra dipidana penjara selama empat tahun serta pidana denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dinilai terbukti terlibat kasus suap penghapusan red notice dan pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
 
Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Djoko mengguyur Napoleon SGD200 ribu dan US$370 ribu.
 
Sedangkan, Prasetijo menerima US$100 ribu dari Djoko Tjandra. Fulus tersebut diberikan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi.
 
Suap diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedua polisi itu memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
 
Jaksa mengungkapkan surat-surat tersebut diberikan kepada pihak imigrasi agar menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi.
 
Djoko Tjandra turut disebut memberikan US$500 ribu kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Suap dimaksudkan agar Pinangki mengurus fatwa MA agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi atas kasus hak tagih Bank Bali.
 
Hal tersebut dilakukan agar Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas pidana penjara yang dijatuhkan berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009. Sehingga Djoko bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
 
Djoko Tjandra juga dianggap terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama dengan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya. Ada perjanjian uang senilai US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan