medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menggelar pembacaan putusan uji materi Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. MK menolak permohonan penguji secara seluruhnya.
"Mengadili, menyatakan, dan menolak permohonan pemohon secara seluruhnya," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat pembacaan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2015).
Hakim MK Patrialis Akbar menyebut, perkawinan berkaitan dengan nilai yang sakral berdasarkan dengan kaidah agama dan tidak bisa diabaikan. Pemahaman perkawinan yang sah harus dilihat dari dua aspek, agama dan negara.
MK mempertimbangkan batasan umur adalah kebijakan hukum terbuka. Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak mengatur secara jelas batasan umur perkawinan. Lagipula, tak ada jaminan meningkatkan batas usia pernikahan menjamin mengurangi angka perceraian.
"Tidak ada jaminan meningkatkan batasan pernikahan dari 16 ke 18 tahun akan menjamin mengurangi perceraian. Seiring perkembangan zaman bisa saja batas usia pernikahan berubah," terangnya.
Setelah mempelajari seluruh permohonan dan keterangan yang diberikan pemohon, pihak terkait, perwakilan pemerintah, DPR, dan saksi ahli, hakim menyebut dalil yang disampaikan pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1954. "Oleh karena itu, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Arief.
Dalam keputusan ini, salah satu Hakim Konstutusi Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda. Maria mengatakan, pernikahan di bawah umur cukup riskan untuk kesehatan anak perempuan mendapatkan penyakit kanker serviks dan HIV.
Selain itu, Maria juga menyebut kesiapan fisik dan psikologis anak. "Pada usia itu belum siap secara fisik dan psikologis. Banyak terjadi kekerasan fisik atau seksual yang berujung pada perceraian," terangnya.
Dalam pembacaan putusan ini sidang dipimpin oleh Arief Hidayat, serta Anwar Usman, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria farida, I Gede Paguna, Manahan Sitompul, Suhartoyo sebagai anggota.
Diketahui, Pemohon menganggap batas "usia anak", khususnya anak perempuan, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara contrario tidak sesuai dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada. Ketentuan itu juga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap batas usia anak di Indonesia.
Menurut pemohon, sepanjang frasa "16 tahun" telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak, khususnya perempuan. Banyaknya praktik perkawinan anak itu dinilai merampas hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Selain itu juga menyebabkan maraknya kasus pemaksaan perkawinan anak, yang dapat mengancam kesehatan reproduksi, dan mengancam hak anak atas pendidikan.
Pemohon menganggap batasan usia perempuan untuk dapat menikah adalah 18 tahun. Dengan alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang frasa "16 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca "umur 18 tahun".
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menggelar pembacaan putusan uji materi Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. MK menolak permohonan penguji secara seluruhnya.
"Mengadili, menyatakan, dan menolak permohonan pemohon secara seluruhnya," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat pembacaan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2015).
Hakim MK Patrialis Akbar menyebut, perkawinan berkaitan dengan nilai yang sakral berdasarkan dengan kaidah agama dan tidak bisa diabaikan. Pemahaman perkawinan yang sah harus dilihat dari dua aspek, agama dan negara.
MK mempertimbangkan batasan umur adalah kebijakan hukum terbuka. Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak mengatur secara jelas batasan umur perkawinan. Lagipula, tak ada jaminan meningkatkan batas usia pernikahan menjamin mengurangi angka perceraian.
"Tidak ada jaminan meningkatkan batasan pernikahan dari 16 ke 18 tahun akan menjamin mengurangi perceraian. Seiring perkembangan zaman bisa saja batas usia pernikahan berubah," terangnya.
Setelah mempelajari seluruh permohonan dan keterangan yang diberikan pemohon, pihak terkait, perwakilan pemerintah, DPR, dan saksi ahli, hakim menyebut dalil yang disampaikan pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1954. "Oleh karena itu, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Arief.
Dalam keputusan ini, salah satu Hakim Konstutusi Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda. Maria mengatakan, pernikahan di bawah umur cukup riskan untuk kesehatan anak perempuan mendapatkan penyakit kanker serviks dan HIV.
Selain itu, Maria juga menyebut kesiapan fisik dan psikologis anak. "Pada usia itu belum siap secara fisik dan psikologis. Banyak terjadi kekerasan fisik atau seksual yang berujung pada perceraian," terangnya.
Dalam pembacaan putusan ini sidang dipimpin oleh Arief Hidayat, serta Anwar Usman, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria farida, I Gede Paguna, Manahan Sitompul, Suhartoyo sebagai anggota.
Diketahui, Pemohon menganggap batas "usia anak", khususnya anak perempuan, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara contrario tidak sesuai dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada. Ketentuan itu juga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap batas usia anak di Indonesia.
Menurut pemohon, sepanjang frasa "16 tahun" telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak, khususnya perempuan. Banyaknya praktik perkawinan anak itu dinilai merampas hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Selain itu juga menyebabkan maraknya kasus pemaksaan perkawinan anak, yang dapat mengancam kesehatan reproduksi, dan mengancam hak anak atas pendidikan.
Pemohon menganggap batasan usia perempuan untuk dapat menikah adalah 18 tahun. Dengan alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang frasa "16 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca "umur 18 tahun".
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)