medcom.id, Semarang: Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari menginginkan rekomendasi yang dikeluarkan lembaganya terkait pelanggaran kode etik oleh hakim seperti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Bisa lihat DKPP, putusannya final dan mengikat," kata Aidul Fitriciada di Semarang, Jateng, seperti dilansir Antara, Kamis (14/4/2016).
Pada putusan DKPP, kata dia, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terikat kode etik dengan lembaga itu, demikian pula sebaliknya.
Menurut dia, KY mengeluarkan 116 rekomendasi sanksi terhadap hakim yang dinilai melakukan pelanggaran kode etik selama 2015. Dari jumlah itu, lanjut dia, hanya 45 rekomendasi yang ditindaklanjuti Mahkamah Agung (MA).
"Sisanya tidak ditindaklanjuti karena masih ada perbedaan persepsi soal kode etik hakim," ungkap dia.
Separuh lebih rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti itu, kata Aidul, menurut MA masuk dalam ranah teknis yudisial yang tidak boleh dimasuki KY.
"Memang ada hal tidak bisa dimasuki, kalau menyangkut pertimbangan hukum dan putusan hakim," urai dia.
Ke depan, menurut dia, perlu disusun formula untuk menyamakan persepsi antara KY dan MA. Beberapa alternatif formula untuk menyelesaikan permasalahan itu bisa dengan membuat payung hukum atas rekomendasi KY.
Selain itu, lanjut Aidul, perlu penyamaan persepsi antara MA dan KY terkait kode etik yang harus dipatuhi. Putusan KY yang nisbi tidak efektif itu dikhawatirkan akan menurunkan kepercayaan publik.
medcom.id, Semarang: Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari menginginkan rekomendasi yang dikeluarkan lembaganya terkait pelanggaran kode etik oleh hakim seperti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Bisa lihat DKPP, putusannya final dan mengikat," kata Aidul Fitriciada di Semarang, Jateng, seperti dilansir
Antara, Kamis (14/4/2016).
Pada putusan DKPP, kata dia, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terikat kode etik dengan lembaga itu, demikian pula sebaliknya.
Menurut dia, KY mengeluarkan 116 rekomendasi sanksi terhadap hakim yang dinilai melakukan pelanggaran kode etik selama 2015. Dari jumlah itu, lanjut dia, hanya 45 rekomendasi yang ditindaklanjuti Mahkamah Agung (MA).
"Sisanya tidak ditindaklanjuti karena masih ada perbedaan persepsi soal kode etik hakim," ungkap dia.
Separuh lebih rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti itu, kata Aidul, menurut MA masuk dalam ranah teknis yudisial yang tidak boleh dimasuki KY.
"Memang ada hal tidak bisa dimasuki, kalau menyangkut pertimbangan hukum dan putusan hakim," urai dia.
Ke depan, menurut dia, perlu disusun formula untuk menyamakan persepsi antara KY dan MA. Beberapa alternatif formula untuk menyelesaikan permasalahan itu bisa dengan membuat payung hukum atas rekomendasi KY.
Selain itu, lanjut Aidul, perlu penyamaan persepsi antara MA dan KY terkait kode etik yang harus dipatuhi. Putusan KY yang nisbi tidak efektif itu dikhawatirkan akan menurunkan kepercayaan publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)