Jakarta: Ahmad Yani, kuasa hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beropini. Dia merasa KPK memaksakan kliennya dinyatakan bersalah atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) dalam bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dia menilai pernyataan juru bicara KPK Febri Diansyah dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menyimpulkan dakwaan SAT sudah terbukti, tidak lazim. Pasalnya, proses persidangan baru berjalan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari jaksa penuntut umum (JPU).
"Dia hadir di persidangan juga tidak, bagaimana dia bisa menyimpulkan. Itu namanya dia sudah bermain opini. Institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, dia harus berdasarkan fakta-fakta," kata Ahmad Yani di sela persidangan lanjutan atas terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 9 Juli 2018.
Selain prematur, dia menilai pernyataan KPK justru berlawanan dengan fakta-fakta baru yang muncul di persidangan. "Fakta-fakta di persidangan menunjukan tidak ada satu bukti pun yang menguatkan dakwan jaksa," tegas dia.
Menurut Yani, salah satu fakta baru yang terkuak dalam sidang adalah kliennya tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI. Pemberian SKL yang diberikannya semata-mata mengikuti kebijakan yang dibuat pemerintah.
Yani merujuk pada penyelesaian BLBI melalui master settlement and acquisition agreement (MSAA) pada pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999) yang diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Pelaksanaannya dijalankan BPPN yang diketuai Glenn Yusuf, yang memberikan release and discharge (R&D) kepada mereka yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.
Baca: Saksi Sebut PT DCD Jamin Utang para Petambak
R&D, kata dia, menegaskan, "Dengan telah diselesaikannya seluruh kewajiban oleh pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (PS BDNI) sesuai MSAA, pemerintah membebaskan dan melepaskan PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya dari setiap kewajiban lebih lanjut untuk pembayaran BLBI. Pemerintah juga mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI”.
Sementara itu, Syafruddin menjabat ketua BPPN di April 2002. Yani pun menekankan Syafruddin bukan pejabat yang berwenang atas masalah di BDNI, melainkan Glenn Yusuf. "Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara SAT adalah tidak tepat atau salah alamat," ungkap dia.
Yani mengingatkan permasalahan MSAA yang jelas dinyatakan di dalam perjanjiannya, jikalau ada perselisihannya harus diselesaikan dengan jalur perdata. Dia pun tak menerima bila kasus ini ditarik menjadi kasus pidana.
Jakarta: Ahmad Yani, kuasa hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beropini. Dia merasa KPK memaksakan kliennya dinyatakan bersalah atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) dalam bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dia menilai pernyataan juru bicara KPK Febri Diansyah dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menyimpulkan dakwaan SAT sudah terbukti, tidak lazim. Pasalnya, proses persidangan baru berjalan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari jaksa penuntut umum (JPU).
"Dia hadir di persidangan juga tidak, bagaimana dia bisa menyimpulkan. Itu namanya dia sudah bermain opini. Institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, dia harus berdasarkan fakta-fakta," kata Ahmad Yani di sela persidangan lanjutan atas terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 9 Juli 2018.
Selain prematur, dia menilai pernyataan KPK justru berlawanan dengan fakta-fakta baru yang muncul di persidangan. "Fakta-fakta di persidangan menunjukan tidak ada satu bukti pun yang menguatkan dakwan jaksa," tegas dia.
Menurut Yani, salah satu fakta baru yang terkuak dalam sidang adalah kliennya tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI. Pemberian SKL yang diberikannya semata-mata mengikuti kebijakan yang dibuat pemerintah.
Yani merujuk pada penyelesaian BLBI melalui
master settlement and acquisition agreement (MSAA) pada pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999) yang diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Pelaksanaannya dijalankan BPPN yang diketuai Glenn Yusuf, yang memberikan
release and discharge (R&D) kepada mereka yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.
Baca: Saksi Sebut PT DCD Jamin Utang para Petambak
R&D, kata dia, menegaskan, "Dengan telah diselesaikannya seluruh kewajiban oleh pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (PS BDNI) sesuai MSAA, pemerintah membebaskan dan melepaskan PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya dari setiap kewajiban lebih lanjut untuk pembayaran BLBI. Pemerintah juga mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap PS BDNI, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI”.
Sementara itu, Syafruddin menjabat ketua BPPN di April 2002. Yani pun menekankan Syafruddin bukan pejabat yang berwenang atas masalah di BDNI, melainkan Glenn Yusuf. "Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara SAT adalah tidak tepat atau salah alamat," ungkap dia.
Yani mengingatkan permasalahan MSAA yang jelas dinyatakan di dalam perjanjiannya, jikalau ada perselisihannya harus diselesaikan dengan jalur perdata. Dia pun tak menerima bila kasus ini ditarik menjadi kasus pidana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)