Jakarta: Pemberian remisi terhadap koruptor dinilai sah saja. Remisi bagi narapidana tersebut pasti telah dikaji dengan berbagai hal dan regulasi yang ada.
"Remisi warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dikeluarkan Kemenkumham berbasis pada undang-undang (UU). Ini kan sudah diatur dalam peraturan, jadi sah-sah saja," ujar pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing dalam keterangan tertulis, Sabtu, 21 Agustus 2021.
Menurut dia, apabila dikaji dari perspektif kritis, narapidana korupsi tidak layak menerima remisi. Sebab, perilaku koruptif merupakan penyakit sosial.
"Di semua lini sudah banyak perilaku koruptif. Ini penyakit sosial (Patologi sosial) jadi harus diberikan sanksi keras," ujar dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.
Dia menilai Kemenkumham melakukan pendekatan normatif atau obyektif berdasarkan UU pada remisi yang diberikan kepada koruptor. Pemberian remisi bagi WBP tidak bisa merujuk pada dua pendekatan sekaligus, karena saling berseberangan.
"Pendekatan kritis di sini juga harus merujuk pada landasan hukum yang ada. Bila tidak, Menteri Hukum dan HAM (Yasonna H Laoly) bisa saja memberikan remisi bagi terpidana korupsi atau pidana lainnya," kata dia.
Hal senada diungkapkan pengamat hukum Masthuro. Dia mengatakan remisi narapidana teroris dan koruptor diberikan dengan mempertimbangkan rasa keadilan di mata hukum. Sebab, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum.
"Pemerintah tentu memiliki pertimbangan lain (tidak membedakan hak warga negara), seperti asas keadilan di mata hukum untuk mengeluarkan remisi bagi narapidana koruptor dan terorisme," ujar Masthuro.
Baca: Gebyar Diskon, 214 Koruptor Dapat Remisi 1 hingga 6 Bulan
Dia menyebut remisi diberikan kepada narapidana dengan pertimbangan yang matang dan sesuai ketentuan UU, seperti memiliki perilaku yang baik dan menyesali perbuatannya. Remisi diberikan saat momentum tertentu seperti HUT RI, hari raya keagamaan, dan lainnya.
"Setiap penerapan kebijakan (remisi bagi korupsi dan terorisme) menuai pro-kontra itu wajar saja. Pasti ada like and dislike," kata dia.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan hak remisi dari warga binaan pemasyarakatan itu sama. "Yang tidak memenuhi pesyaratan, maka warga binaan tersebut tidak diberikan remisi,“ ujar Rika.
Rika mengatakan berdasarkan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dinyatakan narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional akan diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani satu per tiga masa pidana.
“Pasal 14 ayat 1 huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan narapidana berhak mendapatkan remisi," kata Rika.
Jakarta: Pemberian remisi terhadap
koruptor dinilai sah saja.
Remisi bagi narapidana tersebut pasti telah dikaji dengan berbagai hal dan regulasi yang ada.
"Remisi warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dikeluarkan
Kemenkumham berbasis pada undang-undang (UU). Ini kan sudah diatur dalam peraturan, jadi sah-sah saja," ujar pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing dalam keterangan tertulis, Sabtu, 21 Agustus 2021.
Menurut dia, apabila dikaji dari perspektif kritis, narapidana korupsi tidak layak menerima remisi. Sebab, perilaku koruptif merupakan penyakit sosial.
"Di semua lini sudah banyak perilaku koruptif. Ini penyakit sosial (Patologi sosial) jadi harus diberikan sanksi keras," ujar dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.
Dia menilai Kemenkumham melakukan pendekatan normatif atau obyektif berdasarkan UU pada remisi yang diberikan kepada koruptor. Pemberian remisi bagi WBP tidak bisa merujuk pada dua pendekatan sekaligus, karena saling berseberangan.
"Pendekatan kritis di sini juga harus merujuk pada landasan hukum yang ada. Bila tidak, Menteri Hukum dan HAM (Yasonna H Laoly) bisa saja memberikan remisi bagi terpidana korupsi atau pidana lainnya," kata dia.
Hal senada diungkapkan pengamat hukum Masthuro. Dia mengatakan remisi narapidana teroris dan koruptor diberikan dengan mempertimbangkan rasa keadilan di mata hukum. Sebab, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum.
"Pemerintah tentu memiliki pertimbangan lain (tidak membedakan hak warga negara), seperti asas keadilan di mata hukum untuk mengeluarkan remisi bagi narapidana koruptor dan terorisme," ujar Masthuro.
Baca: Gebyar Diskon, 214 Koruptor Dapat Remisi 1 hingga 6 Bulan
Dia menyebut remisi diberikan kepada narapidana dengan pertimbangan yang matang dan sesuai ketentuan UU, seperti memiliki perilaku yang baik dan menyesali perbuatannya. Remisi diberikan saat momentum tertentu seperti HUT RI, hari raya keagamaan, dan lainnya.
"Setiap penerapan kebijakan (remisi bagi korupsi dan terorisme) menuai pro-kontra itu wajar saja. Pasti ada like and dislike," kata dia.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan hak remisi dari warga binaan pemasyarakatan itu sama. "Yang tidak memenuhi pesyaratan, maka warga binaan tersebut tidak diberikan remisi,“ ujar Rika.
Rika mengatakan berdasarkan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dinyatakan narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional akan diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani satu per tiga masa pidana.
“Pasal 14 ayat 1 huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan narapidana berhak mendapatkan remisi," kata Rika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)