Jakarta: Komisi Yudisial (KY) diminta memeriksa tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pemutus penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 atas gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Para pemutus perkara tersebut adalah T Oyong selaku hakim ketua dan H Bakri dan Dominggus Silaban sebagai anggota.
"Publik bisa mendorong KY masuk untuk memeriksa, mengecek, atau meneliti lebih lanjut perilaku hakim," kata peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategis and International Studies (CSIS) D Nicky Fahrizal di Jakarta, Jumat, 3 Maret 2023.
Dia mengatakan dorongan publik itu penting. Sebab, putusan ketiganya cenderung aneh. Hal itu sebagai upaya selain banding oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku tergugat.
Ia menegaskan, sebagai negara hukum demokratis, Indonesia memiliki batasan yuridiksi antarlembaga negara. Menurutnya, PN Jakarta Pusat mengabaikan mekanisme administrasi yang bertujuan untuk menjamin kesatuan maupun kepastian hukum.
Putusan tiga hakim itu disebutnya menyebabkan kegaduhan karena melampaui yuridiksi institusi peradilan. Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga sepakat agar KY memeriksa tiga hakim PN Jakarta Pusat. Sikap KY, lajutnya, diperlukan untuk mencegah spekulasi berkepanjangan serta kecurigaan soal adanya anasir politik di balik putusan tersebut.
Titi menilai majelis hakim melalui putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tidak tepat dalam menggunakan argumentasi hukum. Menurutnya, perbuatan KPU yang dinilai merugikan Prima tidak dapat diseret ke ranah privat. Di samping itu, amar putusan perkara juga bertentangan dengan konstitusi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie bahkan melontarkan pernyataan lebih keras. Ia menyebut hakim yang memutus perkara tersebut layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu.
"Serta tidak mampu membedakan urusan privat (hukum perdata) dengan urusan-urusan publik." kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Jakarta: Komisi Yudisial (KY) diminta memeriksa tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pemutus penundaan Pemilihan Umum
(Pemilu) 2024 atas gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Para pemutus perkara tersebut adalah T Oyong selaku hakim ketua dan H Bakri dan Dominggus Silaban sebagai anggota.
"Publik bisa mendorong KY masuk untuk memeriksa, mengecek, atau meneliti lebih lanjut perilaku hakim," kata peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategis and International Studies (CSIS) D Nicky Fahrizal di Jakarta, Jumat, 3 Maret 2023.
Dia mengatakan dorongan publik itu penting. Sebab, putusan ketiganya cenderung aneh. Hal itu sebagai upaya selain banding oleh Komisi
Pemilihan Umum (
KPU) selaku tergugat.
Ia menegaskan, sebagai negara hukum demokratis, Indonesia memiliki batasan yuridiksi antarlembaga negara. Menurutnya, PN Jakarta Pusat mengabaikan mekanisme administrasi yang bertujuan untuk menjamin kesatuan maupun kepastian hukum.
Putusan tiga hakim itu disebutnya menyebabkan kegaduhan karena melampaui yuridiksi institusi peradilan. Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga sepakat agar KY memeriksa tiga hakim PN Jakarta Pusat. Sikap KY, lajutnya, diperlukan untuk mencegah spekulasi berkepanjangan serta kecurigaan soal adanya anasir politik di balik putusan tersebut.
Titi menilai majelis hakim melalui putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tidak tepat dalam menggunakan argumentasi hukum. Menurutnya, perbuatan KPU yang dinilai merugikan Prima tidak dapat diseret ke ranah privat. Di samping itu, amar putusan perkara juga bertentangan dengan konstitusi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie bahkan melontarkan pernyataan lebih keras. Ia menyebut hakim yang memutus perkara tersebut layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu.
"Serta tidak mampu membedakan urusan privat (hukum perdata) dengan urusan-urusan publik." kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)