medcom.id, Yogyakarta: Puluhan ulama Nahdlatul Ulama (NU) dari penjuru Tanah Air menggelar pertemuan di Yogyakarta. Secara khusus mereka membahas isu korupsi. Mereka membicarakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Bagi NU urusan pemberantasan korupsi sangatlah penting," ujar Alissa Wahid, putri sulung Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid, usai konferensi pers acara Halaqah Alim Ulama Nusantara "Membangun Gerakan Pesantren Antikorupsi" di Yogyakarta, Rabu (29/7/2015).
Halaqah digelar menjelang Muktamar ke-33 NU di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Agustus nanti. Ada 10 provinsi yang hadir dalam pertemuan itu. Mereka selama 3 hari khusus membahas isu mengenai korupsi.
Bagi NU, gerakan antikorupsi adalah jihad. Apalagi tindak pidana korupsi dan pencucian uang bisa merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
NU memandang perlu mengeluarkan rekomendasi kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya pesantren, sebagai basis NU untuk berjihad melawan korupsi melalui gerakan pesantren antikorupsi.
Ada tujuh poin hasil pertemuan mengenai tentang bentuk-bentuk kejahatan korupsi, pencucian uang dan sanksinya. Menurut KH Ahmad Ishomuddin dari Bandar Lampung, tindak pidana korupsi dan pencucian uang merupakan kejahatan yang berkaitan harta benda atau al-Jarimah al Maliyah.
Dia mencontohkan kejahatan itu seperti penggelapan, penyuapan, pencurian, penguasaan ilegal, penjarahan, penyalahgunaan wewenang, memakan harta haram, perampokan, dan mengaburkan asal-usul harta yang haram.
Tindak pidana pencucian uang adalah semua proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan yang diperoleh secara ilegal atau haram sehingga nampak dari sumber yang sah.
"Itu adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan dampaknya jangka panjang," terang Rais Syuriah PBNU itu.
Dia menyebut dampak tindak pidana pencucian ada 11 dosa, seperti merusak sistem ekonomi, membuka peluang manipulasi dalam produksi dan konsumsi dan menjerumuskan manusia kepada bahaya.
Dari dampak yang begitu luar biasa itulah, Halaqah Alim Ulama Nusantara merekomendasikan sanksi kepada pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang sampai beberapa sanksi. Mulai sanksi sosial dan moral, pemiskinan harta, taazir, dan hukuman mati bagi koruptor sebagai hukuman yang paling maksimal.
"Hukuman mati diterapkan apabila tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya, kondisi krisis ekonomi dan krisis sosial serta dilakukan berkali-kali," terang Ishomuddin.
Fatwa hukuman mati bagi koruptor, kata Umar Faroeq dari Pesantren Ma'had Jami'ah STAI Mathali'ul Falah, dikeluarkan dengan sangat berhati-hati. Karena berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM). Namun fatwa itu perlu dikeluarkan karena pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang sudah merajalela.
Ishomuddin mewanti-wanti para pemimpin pondok pesantren agar hati-hati dalam menerima pemberian. Alim ulama dan pondok pesantren, kata dia, wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui penguatan pendidikan nilai-nilai dan prilaku antikorupsi.
"Kiai dan pemimpin pondok pesantren harus hati-hati menerima pemberian. Karena bisa jadi pemberian itu merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang," katanya.
Hal senada dikatakan Allisa Wahid. Menurutnya pembahasan mengenai tindak pencucian uang adalah yang paling lama, karena harus menemukan dalil atau kajian teologisnya untuk memerkuat gerakan antikorupsi di pesantren.
Dalam pesantren, kata Allisa, biasa ada orang yang ingin memberikan hadiah. Sedangkan sang kiai biasanya khsusnudhon (berperasangka baik) kepada pemberi. Namun bisa jadi pemberian itu merupakan hasil pencucian uang yang bisa disebut risywah (menyuap).
"Pesantren harus hati-hati terhadap pendekar berwatak jahat seperti itu, pura-pura memberikan hadiah ternyata dia berniat risywah (menyuap) kepada pesantren," jelasnya.
Dia mengaku akan membawa rekomendasi Halaqah Alim Ulama Nusantara ke beberapa kota di seluruh Nusantara untuk membangun gerakan pesantren antikorupsi. Nantinya, Allisa melalui jaringan Gusdurian akan memberikan pendidikan tetang nilai-nilai dan pengetahuan terkait konsep korupsi berikut seluk-beluknya.
"Jadi biar para kiai di pesantren tidak gamang dan mampu bersikap tegas menghadapi pendekar berwatak jahat yang ingin memanfaatkan pesantren," katanya.
medcom.id, Yogyakarta: Puluhan ulama Nahdlatul Ulama (NU) dari penjuru Tanah Air menggelar pertemuan di Yogyakarta. Secara khusus mereka membahas isu korupsi. Mereka membicarakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Bagi NU urusan pemberantasan korupsi sangatlah penting," ujar Alissa Wahid, putri sulung Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid, usai konferensi pers acara Halaqah Alim Ulama Nusantara "Membangun Gerakan Pesantren Antikorupsi" di Yogyakarta, Rabu (29/7/2015).
Halaqah digelar menjelang Muktamar ke-33 NU di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Agustus nanti. Ada 10 provinsi yang hadir dalam pertemuan itu. Mereka selama 3 hari khusus membahas isu mengenai korupsi.
Bagi NU, gerakan antikorupsi adalah jihad. Apalagi tindak pidana korupsi dan pencucian uang bisa merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
NU memandang perlu mengeluarkan rekomendasi kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya pesantren, sebagai basis NU untuk berjihad melawan korupsi melalui gerakan pesantren antikorupsi.
Ada tujuh poin hasil pertemuan mengenai tentang bentuk-bentuk kejahatan korupsi, pencucian uang dan sanksinya. Menurut KH Ahmad Ishomuddin dari Bandar Lampung, tindak pidana korupsi dan pencucian uang merupakan kejahatan yang berkaitan harta benda atau al-Jarimah al Maliyah.
Dia mencontohkan kejahatan itu seperti penggelapan, penyuapan, pencurian, penguasaan ilegal, penjarahan, penyalahgunaan wewenang, memakan harta haram, perampokan, dan mengaburkan asal-usul harta yang haram.
Tindak pidana pencucian uang adalah semua proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan yang diperoleh secara ilegal atau haram sehingga nampak dari sumber yang sah.
"Itu adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan dampaknya jangka panjang," terang Rais Syuriah PBNU itu.
Dia menyebut dampak tindak pidana pencucian ada 11 dosa, seperti merusak sistem ekonomi, membuka peluang manipulasi dalam produksi dan konsumsi dan menjerumuskan manusia kepada bahaya.
Dari dampak yang begitu luar biasa itulah, Halaqah Alim Ulama Nusantara merekomendasikan sanksi kepada pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang sampai beberapa sanksi. Mulai sanksi sosial dan moral, pemiskinan harta, taazir, dan hukuman mati bagi koruptor sebagai hukuman yang paling maksimal.
"Hukuman mati diterapkan apabila tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya, kondisi krisis ekonomi dan krisis sosial serta dilakukan berkali-kali," terang Ishomuddin.
Fatwa hukuman mati bagi koruptor, kata Umar Faroeq dari Pesantren Ma'had Jami'ah STAI Mathali'ul Falah, dikeluarkan dengan sangat berhati-hati. Karena berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM). Namun fatwa itu perlu dikeluarkan karena pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang sudah merajalela.
Ishomuddin mewanti-wanti para pemimpin pondok pesantren agar hati-hati dalam menerima pemberian. Alim ulama dan pondok pesantren, kata dia, wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui penguatan pendidikan nilai-nilai dan prilaku antikorupsi.
"Kiai dan pemimpin pondok pesantren harus hati-hati menerima pemberian. Karena bisa jadi pemberian itu merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang," katanya.
Hal senada dikatakan Allisa Wahid. Menurutnya pembahasan mengenai tindak pencucian uang adalah yang paling lama, karena harus menemukan dalil atau kajian teologisnya untuk memerkuat gerakan antikorupsi di pesantren.
Dalam pesantren, kata Allisa, biasa ada orang yang ingin memberikan hadiah. Sedangkan sang kiai biasanya khsusnudhon (berperasangka baik) kepada pemberi. Namun bisa jadi pemberian itu merupakan hasil pencucian uang yang bisa disebut risywah (menyuap).
"Pesantren harus hati-hati terhadap pendekar berwatak jahat seperti itu, pura-pura memberikan hadiah ternyata dia berniat risywah (menyuap) kepada pesantren," jelasnya.
Dia mengaku akan membawa rekomendasi Halaqah Alim Ulama Nusantara ke beberapa kota di seluruh Nusantara untuk membangun gerakan pesantren antikorupsi. Nantinya, Allisa melalui jaringan Gusdurian akan memberikan pendidikan tetang nilai-nilai dan pengetahuan terkait konsep korupsi berikut seluk-beluknya.
"Jadi biar para kiai di pesantren tidak gamang dan mampu bersikap tegas menghadapi pendekar berwatak jahat yang ingin memanfaatkan pesantren," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)