Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sejumlah fakta baru terkait kasus tindak pidana penjualan orang (TPPO) Situbondo. Ada beberapa pola baru yang dilakukan pelaku.
Temuan pertama KPAI adalah adanya perubahan pola rekrutmen para pelaku dengan cara memanfaatkan dan mengeksploitasi korban. Pelaku melancarkan pendekatan emosi dan psikologis mengajak teman sebaya.
"Proses rekrutmen ini instan dan cepat sekaligus menyamarkan pelaku sebagai otak perekrut yang sebenarnya. Dalam waktu singkat terkumpul 12 orang target dengan profile mirip remaja (di bawah umur)," kata Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Sholihah dalam pernyataan tertulisnya, Selasa, 6 Agustus 2019.
Ai mengatakan, pelaku mencari koban berupa anak yang sedang dalam keadaan putus sekolah, tidak asing dengan dunia malam, serta kurang kasih sayang dan perhatian orang tua dan sedang membutuhkan pekerjaan. Karakter seperti itu, kata Ai, paling mudah dibujuk dan akhirnya menjadi korban.
Temuan kedua, pelaku membujuk korban dengan memberikan uang pinjaman mulai dari Rp5-10 juta. Pelaku juga menjanjikan beberapa keperluan mereka dari mulai telfon genggam, tempat tinggal atau kos, baju dan makan sehari-hari.
"Awalnya keringanan kemudian menjadi utang, dan justru korban semakin terikat dan tereksploitasi. Utang tersebut harus dibayar di luar pendapatan mereka saat bekerja," ujar Ai.
Temuan terakhir, korban diiming-imingi bekerja disebuat tempat karoke. Korban awalnya dijanjikan bekerja sebagai pemandu lagu.
"Akan tetapi adanya pemenuhan kebutuhan yang terus dipenuhi dan menumpuk jadi utang, akhirnya sulit menghindari terjadinya eksploitasi seksual," tutur Ai.
Dari temuan tersebut KPAI merekomendasikan Polres Situbondo menuntaskan kasus ini. Saat ini, Polres Situbondo juga tengah menangani proses hukum dan telah menangkap lebih dari tiga pelaku dari sindikat dugaan TPPO untuk tujuan eksploitasi seksual.
"KPAI mendorong pengungkapan kasus hingga ke akar-akarnya, mulai dari Bandung hingga ke Jawa Timur, karena pola rekrutmen baru ini sangat pelik," kata Ai.
KPAI juga meminta LPSK untuk mendampingi dan melindungi anak korban, sekaligus saksi dalam kasus ini. KPAI juga meminta anak yang menjadi korban mendapatkan rehabilitasi.
"Untuk korban anak KPAI mendorong sistem rehabilitasi sosial anak korban TPPO berbasis pada pemenuhan hak anak dengan sarana dan prasaranan yang mendukung mental dan psikologis anak," tegas Ai
Selain itu, KPAI juga meminta Kemendikbud meningkatkan program sekolah non formal seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk lebih mendekatkan akses pendidikan pada anak.
Sebelumnya, lima dari 12 orang perempuan korban perdagangan orang di Situbondo, Jawa Timur berusia di bawah 18 tahun, mereka didatangkan dari Kota dan Kabupaten Bandung Jawa Barat. Saat ini kasus tersebut sedang ditangani oleh pemerintah provinsi Jawa Timur baik psikologis serta pelayanan rehabilitasi social, termasuk proses hukum di TKP.
Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sejumlah fakta baru terkait kasus tindak pidana penjualan orang (TPPO) Situbondo. Ada beberapa pola baru yang dilakukan pelaku.
Temuan pertama KPAI adalah adanya perubahan pola rekrutmen para pelaku dengan cara memanfaatkan dan mengeksploitasi korban. Pelaku melancarkan pendekatan emosi dan psikologis mengajak teman sebaya.
"Proses rekrutmen ini instan dan cepat sekaligus menyamarkan pelaku sebagai otak perekrut yang sebenarnya. Dalam waktu singkat terkumpul 12 orang target dengan profile mirip remaja (di bawah umur)," kata Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Sholihah dalam pernyataan tertulisnya, Selasa, 6 Agustus 2019.
Ai mengatakan, pelaku mencari koban berupa anak yang sedang dalam keadaan putus sekolah, tidak asing dengan dunia malam, serta kurang kasih sayang dan perhatian orang tua dan sedang membutuhkan pekerjaan. Karakter seperti itu, kata Ai, paling mudah dibujuk dan akhirnya menjadi korban.
Temuan kedua, pelaku membujuk korban dengan memberikan uang pinjaman mulai dari Rp5-10 juta. Pelaku juga menjanjikan beberapa keperluan mereka dari mulai telfon genggam, tempat tinggal atau kos, baju dan makan sehari-hari.
"Awalnya keringanan kemudian menjadi utang, dan justru korban semakin terikat dan tereksploitasi. Utang tersebut harus dibayar di luar pendapatan mereka saat bekerja," ujar Ai.
Temuan terakhir, korban diiming-imingi bekerja disebuat tempat karoke. Korban awalnya dijanjikan bekerja sebagai pemandu lagu.
"Akan tetapi adanya pemenuhan kebutuhan yang terus dipenuhi dan menumpuk jadi utang, akhirnya sulit menghindari terjadinya eksploitasi seksual," tutur Ai.
Dari temuan tersebut KPAI merekomendasikan Polres Situbondo menuntaskan kasus ini. Saat ini, Polres Situbondo juga tengah menangani proses hukum dan telah menangkap lebih dari tiga pelaku dari sindikat dugaan TPPO untuk tujuan eksploitasi seksual.
"KPAI mendorong pengungkapan kasus hingga ke akar-akarnya, mulai dari Bandung hingga ke Jawa Timur, karena pola rekrutmen baru ini sangat pelik," kata Ai.
KPAI juga meminta LPSK untuk mendampingi dan melindungi anak korban, sekaligus saksi dalam kasus ini. KPAI juga meminta anak yang menjadi korban mendapatkan rehabilitasi.
"Untuk korban anak KPAI mendorong sistem rehabilitasi sosial anak korban TPPO berbasis pada pemenuhan hak anak dengan sarana dan prasaranan yang mendukung mental dan psikologis anak," tegas Ai
Selain itu, KPAI juga meminta Kemendikbud meningkatkan program sekolah non formal seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk lebih mendekatkan akses pendidikan pada anak.
Sebelumnya, lima dari 12 orang perempuan korban perdagangan orang di Situbondo, Jawa Timur berusia di bawah 18 tahun, mereka didatangkan dari Kota dan Kabupaten Bandung Jawa Barat. Saat ini kasus tersebut sedang ditangani oleh pemerintah provinsi Jawa Timur baik psikologis serta pelayanan rehabilitasi social, termasuk proses hukum di TKP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)