Jakarta: Ombudsman RI menemukan adanya potensi malaadministrasi dalam pelaksanaan persidangan online di 16 pengadilan negeri (PN). Dugaan malaadministrasi disebabkan minimnya petugas IT sehingga persidangan online menjadi lamban, terutama jika terdapat kendala teknis di tengah persidangan.
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala menjelaskan kajian ini melalui focus group discussion (FGD), wawancara, survei, dan observasi. Ruang lingkup kajian meliputi PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Depok, PN Bogor, PN Cibinong, PN Bekasi, PN Tangerang, PN Serang, PN Medan, PN Batam, PN Jambi, PN Surabaya, PN Denpasar, PN Banjarmasin, PN Kupang, dan PN Manokwari.
“Ketidakjelasan waktu jalannya sidang, keterbatasan sarana dan prasarana, seperti keterbatasan ruang sidang yang memiliki perangkat teleconference. Jaringan internet yang kurang stabil juga berpotensi menyebabkan penundaan berlarut dalam persidangan,” ujar Adrianus melalui keterangan resmi, Selasa, 9 Juni 2020.
FGD Ombudsman RI dengan beberapa organisasi bantuan hukum (OBH) menghasilkan beberapa fakta terkait dengan permasalahan dalam pelaksanaan persidangan virtual. “Kendala teknis ditemukan, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antarpihak yang kurang baik, penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tidak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta,” jelasnya.
Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2020 pada 20 April 2020 tentang perubahan kedua atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Ombudsman menyarankan ketua MA melakukan sejumlah perbaikan dalam peraturan Mahkamah Agung tentang persidangan secara online/e-litigation perkara pidana. Hal itu guna memperkuat dasar hukum penyelenggaraan proses persidangan virtual.
Jakarta: Ombudsman RI menemukan adanya potensi malaadministrasi dalam pelaksanaan persidangan
online di 16 pengadilan negeri (PN). Dugaan malaadministrasi disebabkan minimnya petugas IT sehingga persidangan
online menjadi lamban, terutama jika terdapat kendala teknis di tengah persidangan.
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala menjelaskan kajian ini melalui
focus group discussion (FGD), wawancara, survei, dan observasi. Ruang lingkup kajian meliputi PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Depok, PN Bogor, PN Cibinong, PN Bekasi, PN Tangerang, PN Serang, PN Medan, PN Batam, PN Jambi, PN Surabaya, PN Denpasar, PN Banjarmasin, PN Kupang, dan PN Manokwari.
“Ketidakjelasan waktu jalannya sidang, keterbatasan sarana dan prasarana, seperti keterbatasan ruang sidang yang memiliki perangkat
teleconference. Jaringan internet yang kurang stabil juga berpotensi menyebabkan penundaan berlarut dalam persidangan,” ujar Adrianus melalui keterangan resmi, Selasa, 9 Juni 2020.
FGD Ombudsman RI dengan beberapa organisasi bantuan hukum (OBH) menghasilkan beberapa fakta terkait dengan permasalahan dalam pelaksanaan persidangan virtual. “Kendala teknis ditemukan, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antarpihak yang kurang baik, penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tidak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta,” jelasnya.
Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2020 pada 20 April 2020 tentang perubahan kedua atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Ombudsman menyarankan ketua MA melakukan sejumlah perbaikan dalam peraturan Mahkamah Agung tentang persidangan secara online/e-litigation perkara pidana. Hal itu guna memperkuat dasar hukum penyelenggaraan proses persidangan virtual.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)