Jakarta: Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Sadli mengaku bersalah telah terlibat dalam kasus suap sebesar Rp240 juta dari pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Ali menyebut dirinya terlibat karena menjadi perantara suap.
Dalam pleidoinya, Ali mengaku hanya menjalani instruksi mantan atasannya, Rochmadi Saptogiri, untuk menerima uang dari mantan Irjen Kemendes Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendes PDTT, Jarot Budi Prabowo.
"Saya hanya diperintahkan oleh Rochmadi untuk menerima uang dari Sugito dan Jarot untuk kemudian disampaikan ke Rochmadi," kata Ali saat membacakan pleidoinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Februari 2018.
Ali mengatakan awalnya tidak mengetahui jika titipan Sugito itu merupakan uang. Ia juga mengklaim tidak ikut merencanakan skema suap tersebut.
Selain itu, Ali juga membantah jika pemberian uang tersebut agar keduanya memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas hasil Laporan Keuangan Kemendes tahun 2015-2016. Ali menyebut, dirinya tak berwenang dalam menentukan opini WTP.
Selain didakwa dalam kasus suap, Ali Sadli juga didakwa menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, dalam pleidoinya Ali membantah dua dakwaan jaksa tersebut.
"Saya tidak ada maksud menyamarkan, menyembunyikan aset sebagaimana orang melakukan TPPU, saya adalah orang yang patuh hukum dan pajak. Karena sebagai PNS, harta saya sudah dilaporkan di LHKPN, pelaporan SPT, dan tax amnesty, sehingga saya tidak pernah punya niat untuk menyamarkan harta kekayaan," tegasnya.
Masih dalam pleidoinya, Ali memohon majelis hakim mempertimbangkan sikapnya yang kooperatif selama pemeriksaan perkara di KPK dan pengadilan. Ia juga mengaku masih memiliki tanggungan keluarga.
"Kiranya majelis hakim yang mulia mempertimbangkan kembali tuntutan masa hukuman, pengenaan denda dan uang pengganti yang seringan-ringannya. Jika dilihat lama waktu dan besaran denda uang pengganti sangat diluar kemampuan saya," tuturnya.
Ia juga memohon agar majelis hakim mempertimbangkan jasa-jasanya selama di BPK. Ia mengklaim, sebagai auditor BPK, telah berhasil menemukan kerugian negara dan kekurangan penerimaan-penerimaan negara lebih dari Rp30 miliar dari keuangan negara di Kemendes PDTT.
Ali Sadli sebelumnya dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa menilai Ali terbukti bersalah dalam kasus penerimaan suap. Selain itu, Ali juga dinilai terbukti menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang.
Tak hanya itu, ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp325 juta. Jika tak dibayar dalam satu bulan, maka harta benda disita dan dilelang, jika hasil lelang kekayaan tidak mencukupi dikenai penjara selama satu tahun.
Ali Sadli dinilai terbukti melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a atau Pasal 12 ayat 1 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam kasus dugaan gratifikasi, Ali dinilai melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dalam kasus dugaan pencucian uang ia dinilak melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Jakarta: Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Sadli mengaku bersalah telah terlibat dalam kasus suap sebesar Rp240 juta dari pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Ali menyebut dirinya terlibat karena menjadi perantara suap.
Dalam pleidoinya, Ali mengaku hanya menjalani instruksi mantan atasannya, Rochmadi Saptogiri, untuk menerima uang dari mantan Irjen Kemendes Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendes PDTT, Jarot Budi Prabowo.
"Saya hanya diperintahkan oleh Rochmadi untuk menerima uang dari Sugito dan Jarot untuk kemudian disampaikan ke Rochmadi," kata Ali saat membacakan pleidoinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Februari 2018.
Ali mengatakan awalnya tidak mengetahui jika titipan Sugito itu merupakan uang. Ia juga mengklaim tidak ikut merencanakan skema suap tersebut.
Selain itu, Ali juga membantah jika pemberian uang tersebut agar keduanya memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas hasil Laporan Keuangan Kemendes tahun 2015-2016. Ali menyebut, dirinya tak berwenang dalam menentukan opini WTP.
Selain didakwa dalam kasus suap, Ali Sadli juga didakwa menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, dalam pleidoinya Ali membantah dua dakwaan jaksa tersebut.
"Saya tidak ada maksud menyamarkan, menyembunyikan aset sebagaimana orang melakukan TPPU, saya adalah orang yang patuh hukum dan pajak. Karena sebagai PNS, harta saya sudah dilaporkan di LHKPN, pelaporan SPT, dan tax amnesty, sehingga saya tidak pernah punya niat untuk menyamarkan harta kekayaan," tegasnya.
Masih dalam pleidoinya, Ali memohon majelis hakim mempertimbangkan sikapnya yang kooperatif selama pemeriksaan perkara di KPK dan pengadilan. Ia juga mengaku masih memiliki tanggungan keluarga.
"Kiranya majelis hakim yang mulia mempertimbangkan kembali tuntutan masa hukuman, pengenaan denda dan uang pengganti yang seringan-ringannya. Jika dilihat lama waktu dan besaran denda uang pengganti sangat diluar kemampuan saya," tuturnya.
Ia juga memohon agar majelis hakim mempertimbangkan jasa-jasanya selama di BPK. Ia mengklaim, sebagai auditor BPK, telah berhasil menemukan kerugian negara dan kekurangan penerimaan-penerimaan negara lebih dari Rp30 miliar dari keuangan negara di Kemendes PDTT.
Ali Sadli sebelumnya dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa menilai Ali terbukti bersalah dalam kasus penerimaan suap. Selain itu, Ali juga dinilai terbukti menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang.
Tak hanya itu, ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp325 juta. Jika tak dibayar dalam satu bulan, maka harta benda disita dan dilelang, jika hasil lelang kekayaan tidak mencukupi dikenai penjara selama satu tahun.
Ali Sadli dinilai terbukti melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a atau Pasal 12 ayat 1 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam kasus dugaan gratifikasi, Ali dinilai melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dalam kasus dugaan pencucian uang ia dinilak melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)