Jakarta: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, menyebut pelaku teror sengaja meledakan bom di suatu tempat umum karena gagal hijrah ke Suriah. Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang tertangkap di perbatasan antara Irak dan Suriah, khususnya Turki, kemudian dikembalikan ke Tanah Air.
"Niatnya belum tercapai untuk hijrah di negara tujuan sehingga mereka yang masih terpapar radikalisme akan melakukan aksi di Indonesia," kata Suhardi saat pemaparan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 November 2019.
BNPT mengakui tak bisa bekerja sendiri. Sehingga, lembaga pimpinan Suhardi itu bekerja sama dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri untuk memberantas terorisme.
"Pelaksanaan tugas BNPT, mengingat BNPT bukan lembaga penegak hukum sehingga deputi penindakan dalam bidang kemampuan dapat melaksanakan tugasnya kepada intelijen untuk membantu Densus 88 Antiteror Polri," imbuh dia.
Suhardi juga melaporkan kegiatan kerja BNPT dalam pencegahan terorisme. BNPT memiliki program intelijen untuk mengawasi konten-konten di media sosial.
Suhardi mencontohkan kasus penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto. Dia menyebut Syahril Alamsyah alias Abu Rara, pelaku Wiranto, terpapar paham yang salah dari media sosial.
"Dengan masih marak terorisme kali ini, serta masifnya paham daulah khilafah ISIS di dunia maya, BNPT khususnya bidang penindakan lakukan upaya preemptive, mitigasi, melakukan kegiatan intelijen dengan bentuk satuan tugas melakukan patroli penggalangan jaringan," jelas dia.
Ubah radikalisme
Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengusulkan kepada Suhardi untuk mengubah diksi radikalisme menjadi istilah lain. Dia meminta kata 'radikalisme' diganti dengan violent extremism atau kekerasan ekstrem.
Menurut Sarifuddin, kata radikalisme secara tak langsung menyudutkan agama tertentu. "Saya enggak setuju sama diksi radikalisasi. Diksi ini muncul di masa Orde Baru yang berkaitan mengarah ke kiri, tapi setelah Orde Baru ini sehingga sudah ke kanan. Di beberapa kejadian juga dilakukan oleh nonmuslim. Di Selandia Baru dan lain-lain itu kan kekerasan. Apakah kita enggak bisa gunakan diksi ekstremis atau kekerasan?" kata Sudding.
Anggota DPR Komisi III Fraksi Gerindra Rahmat Muhajirin juga meminta Suhardi tak lagi memakai kata radikal. Menurut Rahmat, kata itu langsung menyasar ke kelompok agama tertentu.
"Mohon dibatasi, Pak, enggak semua lembaga bicara radikal karena saya khawatir kadang bahasa radikal menyasar kelompok tertentu," ujar Rahmat.
Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Ichsan Soelistio mengapresiasi kinerja dan capaian BNPT. Namun, dia menyoroti penggunaan anggaran dari BNPT yang dianggap kurang tepat sasaran.
"Berdasarkan analisis dari Center of Budget Analysis, sebagian besar anggaran lembaga yang menangani terorisme, termasuk BNPT, habis untuk anggaran yang nonproduktif," kata dia.
Jakarta: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, menyebut pelaku teror sengaja meledakan bom di suatu tempat umum karena gagal hijrah ke Suriah. Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang tertangkap di perbatasan antara Irak dan Suriah, khususnya Turki, kemudian dikembalikan ke Tanah Air.
"Niatnya belum tercapai untuk hijrah di negara tujuan sehingga mereka yang masih terpapar radikalisme akan melakukan aksi di Indonesia," kata Suhardi saat pemaparan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 November 2019.
BNPT mengakui tak bisa bekerja sendiri. Sehingga, lembaga pimpinan Suhardi itu bekerja sama dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri untuk memberantas terorisme.
"Pelaksanaan tugas BNPT, mengingat BNPT bukan lembaga penegak hukum sehingga deputi penindakan dalam bidang kemampuan dapat melaksanakan tugasnya kepada intelijen untuk membantu Densus 88 Antiteror Polri," imbuh dia.
Suhardi juga melaporkan kegiatan kerja BNPT dalam pencegahan terorisme. BNPT memiliki program intelijen untuk mengawasi konten-konten di media sosial.
Suhardi mencontohkan kasus penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto. Dia menyebut Syahril Alamsyah alias Abu Rara, pelaku Wiranto, terpapar paham yang salah dari media sosial.
"Dengan masih marak terorisme kali ini, serta masifnya paham daulah khilafah ISIS di dunia maya, BNPT khususnya bidang penindakan lakukan upaya preemptive, mitigasi, melakukan kegiatan intelijen dengan bentuk satuan tugas melakukan patroli penggalangan jaringan," jelas dia.
Ubah radikalisme
Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengusulkan kepada Suhardi untuk mengubah diksi
radikalisme menjadi istilah lain. Dia meminta kata 'radikalisme' diganti dengan
violent extremism atau kekerasan ekstrem.
Menurut Sarifuddin, kata radikalisme secara tak langsung menyudutkan agama tertentu. "Saya enggak setuju sama diksi radikalisasi. Diksi ini muncul di masa Orde Baru yang berkaitan mengarah ke kiri, tapi setelah Orde Baru ini sehingga sudah ke kanan. Di beberapa kejadian juga dilakukan oleh nonmuslim. Di Selandia Baru dan lain-lain itu kan kekerasan. Apakah kita enggak bisa gunakan diksi ekstremis atau kekerasan?" kata Sudding.
Anggota DPR Komisi III Fraksi Gerindra Rahmat Muhajirin juga meminta Suhardi tak lagi memakai kata radikal. Menurut Rahmat, kata itu langsung menyasar ke kelompok agama tertentu.
"Mohon dibatasi, Pak, enggak semua lembaga bicara radikal karena saya khawatir kadang bahasa radikal menyasar kelompok tertentu," ujar Rahmat.
Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Ichsan Soelistio mengapresiasi kinerja dan capaian BNPT. Namun, dia menyoroti penggunaan anggaran dari BNPT yang dianggap kurang tepat sasaran.
"Berdasarkan analisis dari
Center of Budget Analysis, sebagian besar anggaran lembaga yang menangani terorisme, termasuk BNPT, habis untuk anggaran yang nonproduktif," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AZF)