medcom.id, Jakarta: Korupsi terus merongrong pemerintahan. Sejak Republik ini berdiri hingga Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah, rasuah terus menjadi pusat perhatian publik. Itu karena korupsi tak pernah berhenti, ada saja orang yang ditangkap karena terseret kejahatan luar biasa ini.
Jokowi sudah satu tahun menjadi Presiden Indonesia. Ada catatan khusus terkait pemberantasan korupsi, setidaknya yang tergambar dari Forum Group Discussion Media Research Center (MRC), sebuah lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, awal bulan ini di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat. Banyak pemikiran, ide, dan solusi ditawarkan peserta untuk memberantas korupsi.
Tama S. Langkun, satu dari 24 peserta FGD, menuturkan, ada beberapa program rentan dikorupsi. Misalnya, program Dana Desa, satu desa mendapatkan dana sekitar Rp1 miliar. Menurut Tama, masalah paling mendasar program ini adalah soal pengelolaan uang yang berjumlah miliaran untuk didistribusikan ke desa-desa.
"Desa-desa itu bikin BUMN desa, kemudian di dalam itu ada lagi struktur-struktur kelembagaan yang baru. Mengawal pengadaan-pengadaan barang dan jasa di kementerian, level provinsi, kota-kabupaten, Jokowi belum punya formula untuk memastikan jalan tepat waktu, pengadaannya tidak korup, efisien dan segala macam, dia belum punya instrumen. Dan ini harus ditambah beban mengawal desa," papar peneliti Indonesia Corruption Watch itu.
Tama menuturkan, Jokowi tak bisa hanya mengandalkan anak buah untuk mengawasi distribusi dana desa. Seperti halnya di level pusat, Jokowi juga bisa memanfaatkan keterlibatan publik. "Misalnya seperti kita dan teman-teman di ICW bikin namanya open tender, prodatabase government, kita bikin aplikasi, dia bisa kontrol," ujar Tama.
Yang paling penting adalah proteksi terhadap pelapor kasus pelanggaran di desa. Pemerintah harus belajar dari kasus terbunuhnya Salim Kancil, petani yang menolak penambangan pasir di lingkungannya. Salim dan koleganya sempat melapor ke polisi terkait persoalan tambang pasir. Alih-alih direspons, Salim justru terbunuh.
"Akan celaka ketika orang-orang seperti Kancil tidak ada proteksi sama sekali," paparnya.
Tama S Langkun. Foto: Rommy Pujianto/MI
Catatan lainnya, kata Tama, soal mekanisme pemilihan pejabat. Presiden tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penunjukkan Kapolri dan Jaksa Agung. Mekanisme itu tak berubah dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Akhirnya pemberantasan korupsi tidak jelas, kemudian pembinaan di internal juga tidak begitu mendasar. Dampaknya terjadi banyak problem," ujar Tama. Tama juga melihat masih adanya rangkap jabatan para pembantu presiden.
Tama menilai, desain upaya pencegahan korupsi di era Jokowi sudah cukup bagus. Namun ada persoalan yang terulang dari era SBY ke Jokowi. Yakni tak adanya pengawasan terhadap rencana-aksi.
"Sekarang kan tidak jelas siapa yang melaksanakan, ketika dia memerintahkan kepala daerah untuk melakukan sesuatu, siapa yang mengawasi itu, siapa yang mengoordinasikan, ini tidak terjadi," ujar Tama.
Tama memberi catatan khusus untuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bawah kepemimpinan Yasonna Laoly. Kemenkumham yang memberikan remisi untuk para terpidana korupsi dianggap tidak memberikan efek jera. Di sisi lain, rencana revisi UU KPK juga menjadi nilai minus bagi kementerian ini. Apalagi, Yasonna berbeda pendapat dengan Presiden. "Ini malah jadi memancing respons yang tidak bagus untuk dia sendiri. Di sisi lain, pembenahan di internal lapas tidak berjalan," paparnya.
Apa yang dikatakan Tama sejalan dengan penilaian peserta terhadap kinerja Kemenkumham. Sebanyak 34 persen peserta FGD menilai, Kemenkumham masih berusaha mewujudkan berbagai macam program, termasuk pemberantasan korupsi. Lalu, 66 persen menilai sudah menuju. Tidak ada seorang pun peserta yang menilai Kemenkumham sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sejumlah UU yang diharapkan bisa lahir di era presiden sebelumnya, Tama mendorong agar bisa diwujudkan di era Jokowi. "Seperti RUU tentang pembatasan transaksi tunai dan RUU perampasan aset, menurut saya kalau dua itu bisa lahir di zamannya Jokowi, sudah bisa jadi catatan yang lumayan," paparnya.
Pemerintahan Jokowi, kata Tama, juga harus memperkuat sinergitas lembaga penegak hukum. Dulu, kata dia, ada instruksi terkait kesepakatan bersama tentang optimalisasi pemberantasan korupsi antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Namun kesepakatan itu jadi persoalan ketika berbenturan dengan undang-undang.
"Akhirnya ada rebutan kasus. Misalnya, kalau sesuai undang-undang seharusnya KPK yang pegang kasus, tapi karena ada kesapakatan bersama jadinya tak sesuai undang-undang, ada banyak problem dalam aturan kesepakatan. Seharusnya Jokowi bisa fokus ke situ kalau ingin membenahi komunikasi antara polisi, KPK, dan kejaksaan," kata Tama.
Di sisi lain, Tama mengkritisi kebijakan Jokowi yang berencana menerbitkan Peraturan Presiden soal soal proteksi untuk kepala daerah. Kebijakan tak boleh dipidana.
"Itu sebetulnya bukan jalan keluar, proteksi untuk kepala daerah itu sudah ada di undang-undang, sepanjang dia tidak sengaja atau tidak ada itikad untuk melakukan suatu perbuatan tidak usah dipidana, sepanjang saya baca kasus korupsi itu tidak ada yang tidak disengaja," paparnya.
Catatan lainnya adalah soal pengadaan barang dan jasa. Tama berpandangan pemerintah harus mengevaluasi pengadaan barang dan jasa. Menurutnya, petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengeluaran anggaran dasar dan rumah tangga yang berkontribusi melambankan eksekusi.
"Misalkan anggaran cair Januari, juklak dan juknisnya turun tiga bulan kemudian. Lalu revisi. Akhirnya bulan-bulan berikutnya baru bisa dieksekusi. Rantai birokrasi seperti ini harusnya dievaluasi pemerintah. Jadi perkuat pengawasannya, perbaiki regulasinya, bukan kemudian buat perpres," tukas Tama.
Peserta lainnya, Lucius Karus memandang Jokowi sudah cukup memiliki modal untuk terus menciptakan perubahan dan memajukan negara ini. Namun, Jokowi harus berhadapan dengan situasi politis yang berlawanan dengan niatnya sebagai presiden. Misalnya, melalui Nawacita Jokowi ingin memperjuangkan pemerintahan yang transparan, tapi di waktu yang sama dia mesti bersinggungan dengan karakter utama partai politik yang selalu ingin tertutup.
"Ketika misalnya Jokowi menginginkan pemerintahan yang transparan, tata kelola pemerintahan yang terbuka, pada saat yang sama partai politik ingin menarik itu dan ingin melakukan praktik yang sebenarnya melawan keterbukaan itu dengan praktik-praktik tertutup," papar Lucius.
Foto: R Rekotomo/Antara
"Jadi bagaimana pun ide-ide cerdas kita tuangkan melalui regulasi, melalui proses pengambilan keputusan lain yang harus dilakukan pemerintah, kita seolah-olah mentok ketika kemudian di pemerintah, saat ini dia harus mempertimbangkan lagi dengan kepentingan-kepentingan yang mendukung dia," jelas Lucius dari Formappi.
Jelaskan Posisi Partai
Lucius mengatakan perubahan bisa dilakukan asal posisi dan peran partai politik pengusung jelas. Peran partai politik harus dibatasi, jangan sampai mengintervensi pemerintah. "Itu harus ada perjanjian hitam di atas putih," ujar Lucius.
Artinya, kata dia, untuk jangka waktu tertentu, partai politik harus serius mendukung pemerintahan dengan membatasi kewenangannnya sendiri. Selama ini, Lucius menilai komunikasi dan kebijakan partai politik dan Jokowi selalu tertutup. Publik disodorkan informasi yang serba simpang siur. "Dan sebagaimana hasilnya kita lihat, kita tidak pernah melihat Jokowi yang tegas, Jokowi yang punya sikap, Jokowi yang ingin berbeda dengan SBY, itu tidak pernah kelihatan sampai sekarang," paparnya.
Dalam jalan perubahan untuk rakyat, dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, mayoritas peserta FGD percaya pemerintah sedang menuju upaya pemberantasan korupsi dan penegakan (62 persen), lalu 30 persen lainnya menganggap pemerintah sedang berupaya, dan 8 persen sisanya yakin itu sudah terwujud.
Sumber: MRC Grafis: Metrotvnews.com
Sementara untuk Nawacita menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, sebanyak 66 persen yakin pemerintah sedang menuju realisasi poin keempat, sembilan agenda prioritas Jokowi-JK. Sebanyak 30 persen, beranggapan pemerintah sedang berupaya dan hanya empat persen yang yakin itu sudah terwujud.
medcom.id, Jakarta: Korupsi terus merongrong pemerintahan. Sejak Republik ini berdiri hingga Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah, rasuah terus menjadi pusat perhatian publik. Itu karena korupsi tak pernah berhenti, ada saja orang yang ditangkap karena terseret kejahatan luar biasa ini.
Jokowi sudah satu tahun menjadi Presiden Indonesia. Ada catatan khusus terkait pemberantasan korupsi, setidaknya yang tergambar dari Forum Group Discussion Media Research Center (MRC), sebuah lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, awal bulan ini di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat. Banyak pemikiran, ide, dan solusi ditawarkan peserta untuk memberantas korupsi.
Tama S. Langkun, satu dari 24 peserta FGD, menuturkan, ada beberapa program rentan dikorupsi. Misalnya, program Dana Desa, satu desa mendapatkan dana sekitar Rp1 miliar. Menurut Tama, masalah paling mendasar program ini adalah soal pengelolaan uang yang berjumlah miliaran untuk didistribusikan ke desa-desa.
"Desa-desa itu bikin BUMN desa, kemudian di dalam itu ada lagi struktur-struktur kelembagaan yang baru. Mengawal pengadaan-pengadaan barang dan jasa di kementerian, level provinsi, kota-kabupaten, Jokowi belum punya formula untuk memastikan jalan tepat waktu, pengadaannya tidak korup, efisien dan segala macam, dia belum punya instrumen. Dan ini harus ditambah beban mengawal desa," papar peneliti Indonesia Corruption Watch itu.
Tama menuturkan, Jokowi tak bisa hanya mengandalkan anak buah untuk mengawasi distribusi dana desa. Seperti halnya di level pusat, Jokowi juga bisa memanfaatkan keterlibatan publik. "Misalnya seperti kita dan teman-teman di ICW bikin namanya open tender, prodatabase government, kita bikin aplikasi, dia bisa kontrol," ujar Tama.
Yang paling penting adalah proteksi terhadap pelapor kasus pelanggaran di desa. Pemerintah harus belajar dari kasus terbunuhnya Salim Kancil, petani yang menolak penambangan pasir di lingkungannya. Salim dan koleganya sempat melapor ke polisi terkait persoalan tambang pasir. Alih-alih direspons, Salim justru terbunuh.
"Akan celaka ketika orang-orang seperti Kancil tidak ada proteksi sama sekali," paparnya.
Tama S Langkun. Foto: Rommy Pujianto/MI
Catatan lainnya, kata Tama, soal mekanisme pemilihan pejabat. Presiden tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penunjukkan Kapolri dan Jaksa Agung. Mekanisme itu tak berubah dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Akhirnya pemberantasan korupsi tidak jelas, kemudian pembinaan di internal juga tidak begitu mendasar. Dampaknya terjadi banyak problem," ujar Tama. Tama juga melihat masih adanya rangkap jabatan para pembantu presiden.
Tama menilai, desain upaya pencegahan korupsi di era Jokowi sudah cukup bagus. Namun ada persoalan yang terulang dari era SBY ke Jokowi. Yakni tak adanya pengawasan terhadap rencana-aksi.
"Sekarang kan tidak jelas siapa yang melaksanakan, ketika dia memerintahkan kepala daerah untuk melakukan sesuatu, siapa yang mengawasi itu, siapa yang mengoordinasikan, ini tidak terjadi," ujar Tama.
Tama memberi catatan khusus untuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bawah kepemimpinan Yasonna Laoly. Kemenkumham yang memberikan remisi untuk para terpidana korupsi dianggap tidak memberikan efek jera. Di sisi lain, rencana revisi UU KPK juga menjadi nilai minus bagi kementerian ini. Apalagi, Yasonna berbeda pendapat dengan Presiden. "Ini malah jadi memancing respons yang tidak bagus untuk dia sendiri. Di sisi lain, pembenahan di internal lapas tidak berjalan," paparnya.
Apa yang dikatakan Tama sejalan dengan penilaian peserta terhadap kinerja Kemenkumham. Sebanyak 34 persen peserta FGD menilai, Kemenkumham masih berusaha mewujudkan berbagai macam program, termasuk pemberantasan korupsi. Lalu, 66 persen menilai sudah menuju. Tidak ada seorang pun peserta yang menilai Kemenkumham sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sejumlah UU yang diharapkan bisa lahir di era presiden sebelumnya, Tama mendorong agar bisa diwujudkan di era Jokowi. "Seperti RUU tentang pembatasan transaksi tunai dan RUU perampasan aset, menurut saya kalau dua itu bisa lahir di zamannya Jokowi, sudah bisa jadi catatan yang lumayan," paparnya.
Pemerintahan Jokowi, kata Tama, juga harus memperkuat sinergitas lembaga penegak hukum. Dulu, kata dia, ada instruksi terkait kesepakatan bersama tentang optimalisasi pemberantasan korupsi antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Namun kesepakatan itu jadi persoalan ketika berbenturan dengan undang-undang.
"Akhirnya ada rebutan kasus. Misalnya, kalau sesuai undang-undang seharusnya KPK yang pegang kasus, tapi karena ada kesapakatan bersama jadinya tak sesuai undang-undang, ada banyak problem dalam aturan kesepakatan. Seharusnya Jokowi bisa fokus ke situ kalau ingin membenahi komunikasi antara polisi, KPK, dan kejaksaan," kata Tama.
Di sisi lain, Tama mengkritisi kebijakan Jokowi yang berencana menerbitkan Peraturan Presiden soal soal proteksi untuk kepala daerah. Kebijakan tak boleh dipidana.
"Itu sebetulnya bukan jalan keluar, proteksi untuk kepala daerah itu sudah ada di undang-undang, sepanjang dia tidak sengaja atau tidak ada itikad untuk melakukan suatu perbuatan tidak usah dipidana, sepanjang saya baca kasus korupsi itu tidak ada yang tidak disengaja," paparnya.
Catatan lainnya adalah soal pengadaan barang dan jasa. Tama berpandangan pemerintah harus mengevaluasi pengadaan barang dan jasa. Menurutnya, petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengeluaran anggaran dasar dan rumah tangga yang berkontribusi melambankan eksekusi.
"Misalkan anggaran cair Januari, juklak dan juknisnya turun tiga bulan kemudian. Lalu revisi. Akhirnya bulan-bulan berikutnya baru bisa dieksekusi. Rantai birokrasi seperti ini harusnya dievaluasi pemerintah. Jadi perkuat pengawasannya, perbaiki regulasinya, bukan kemudian buat perpres," tukas Tama.
Peserta lainnya, Lucius Karus memandang Jokowi sudah cukup memiliki modal untuk terus menciptakan perubahan dan memajukan negara ini. Namun, Jokowi harus berhadapan dengan situasi politis yang berlawanan dengan niatnya sebagai presiden. Misalnya, melalui Nawacita Jokowi ingin memperjuangkan pemerintahan yang transparan, tapi di waktu yang sama dia mesti bersinggungan dengan karakter utama partai politik yang selalu ingin tertutup.
"Ketika misalnya Jokowi menginginkan pemerintahan yang transparan, tata kelola pemerintahan yang terbuka, pada saat yang sama partai politik ingin menarik itu dan ingin melakukan praktik yang sebenarnya melawan keterbukaan itu dengan praktik-praktik tertutup," papar Lucius.

Foto: R Rekotomo/Antara
"Jadi bagaimana pun ide-ide cerdas kita tuangkan melalui regulasi, melalui proses pengambilan keputusan lain yang harus dilakukan pemerintah, kita seolah-olah mentok ketika kemudian di pemerintah, saat ini dia harus mempertimbangkan lagi dengan kepentingan-kepentingan yang mendukung dia," jelas Lucius dari Formappi.
Jelaskan Posisi Partai
Lucius mengatakan perubahan bisa dilakukan asal posisi dan peran partai politik pengusung jelas. Peran partai politik harus dibatasi, jangan sampai mengintervensi pemerintah. "Itu harus ada perjanjian hitam di atas putih," ujar Lucius.
Artinya, kata dia, untuk jangka waktu tertentu, partai politik harus serius mendukung pemerintahan dengan membatasi kewenangannnya sendiri. Selama ini, Lucius menilai komunikasi dan kebijakan partai politik dan Jokowi selalu tertutup. Publik disodorkan informasi yang serba simpang siur. "Dan sebagaimana hasilnya kita lihat, kita tidak pernah melihat Jokowi yang tegas, Jokowi yang punya sikap, Jokowi yang ingin berbeda dengan SBY, itu tidak pernah kelihatan sampai sekarang," paparnya.
Dalam jalan perubahan untuk rakyat, dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, mayoritas peserta FGD percaya pemerintah sedang menuju upaya pemberantasan korupsi dan penegakan (62 persen), lalu 30 persen lainnya menganggap pemerintah sedang berupaya, dan 8 persen sisanya yakin itu sudah terwujud.
Sumber: MRC Grafis: Metrotvnews.com
Sementara untuk Nawacita menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, sebanyak 66 persen yakin pemerintah sedang menuju realisasi poin keempat, sembilan agenda prioritas Jokowi-JK. Sebanyak 30 persen, beranggapan pemerintah sedang berupaya dan hanya empat persen yang yakin itu sudah terwujud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)