medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi punya catatan baik dan buruk selama satu tahun kinerja mereka. Setara Institut mencatat, salah satu kekurangan MK adalah manajemen waktu dalam penanganan perkara yang cukup lama.
Direktur Riset Setara Institut Ismal Hasani mengatakan, MK kerap menunda proses pembacaan putusan perkara. Dari 124 putusan yang dibacakan dalam satu tahun terakhir, ada sekitar 19 putusan yang pembacaan putusannya ditunda lebih dari delapan bulan.
"Putusan itu disepakati delapan bulan sebelumnya, tapi baru dibacakan," kata Ismail di Kantor Setara Institut, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2016).
Ismail menilai, penundaan pembacaan putusan merupakan bentuk penundaan melimpahkan keadilan bagi warga negara. Karena, warga negara melakukan uji materi untuk meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi.
Kondisi penundaan ini juga dianggap membuat MK memiliki celah untuk berpolitik. Ismail mencontohkan putusan MK tentang pelaksanaan pemilu serentak. Jarak antara Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembacaan putusan hampir satu tahun. Fakta itu ditunjang dengan pernyataan dari mantan Ketua MK Mahfud MD.
"Ini artinya MK berpolitik dengan memainkan peran yang sangat strategis," lanjut Ismail.
Meski begitu, Ismail bisa menerima pernyataan MK terkait jadwal pemilu yang telah ditetapkan dari jauh hari. Belum lagi, potensi kericuhan dan kekacauan pelaksanaan pilkada yang timbul akibat pembacaan putusan itu.
"Ini suatu hal yang bisa dimengerti," jelas Ismail.
Hanya saja, Ismail tak ingin MK terus membiarkan penundaan ini terus terjadi. Sebab, manajemen waktu yang tak tertiba bisa mengikis kewibawaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Putusan MK yang Diabaikan
Setara juga mencatat, selama satu tahun terakhir ada beberapa putusan MK yang tak dipatuhi penyelenggaran negara. Ismail menilai hal ini cukup mengkhawatirkan.
"Kita khawatir MK hanya menyeleggarakan ritual pengujian UU, tanpa melimpahkan keadilan kepada warga negara karena banyak putusan itu diabaikan," ungkap Ismail.
Salah satunya, kata Ismail, surat edaran yang dikeluarkan Mahkamah Agung terkait Peninjauan Kembali (PK) terpidana mati. MK saat itu mengeluarkan putusan bahwa terpidana mati boleh mengajukan PK beberapa kali. Bukannya mematuhi, kata Ismail, MA justru mengeluarkan surat edaran yang bertolak belakang dengan putusan.
"Ini adalah bentuk pembangkangan," kata Ismail.
Ismail menyamakan urgensi kasus ini dengan penunjukan Arcandra Tahar sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Penunjukan ini dinilai bahaya karena Arcandra diketahui mengantongi paspor Amerika Serikat sejak 2012.
"Pembangkangan oleh penyelenggara negara terhadap putusan MK ini lebih berbahaya dari penunjuan Arcandra yang berkewarganegaraan ganda," pungkas Ismail.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi punya catatan baik dan buruk selama satu tahun kinerja mereka. Setara Institut mencatat, salah satu kekurangan MK adalah manajemen waktu dalam penanganan perkara yang cukup lama.
Direktur Riset Setara Institut Ismal Hasani mengatakan, MK kerap menunda proses pembacaan putusan perkara. Dari 124 putusan yang dibacakan dalam satu tahun terakhir, ada sekitar 19 putusan yang pembacaan putusannya ditunda lebih dari delapan bulan.
"Putusan itu disepakati delapan bulan sebelumnya, tapi baru dibacakan," kata Ismail di Kantor Setara Institut, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2016).
Ismail menilai, penundaan pembacaan putusan merupakan bentuk penundaan melimpahkan keadilan bagi warga negara. Karena, warga negara melakukan uji materi untuk meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi.
Kondisi penundaan ini juga dianggap membuat MK memiliki celah untuk berpolitik. Ismail mencontohkan putusan MK tentang pelaksanaan pemilu serentak. Jarak antara Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembacaan putusan hampir satu tahun. Fakta itu ditunjang dengan pernyataan dari mantan Ketua MK Mahfud MD.
"Ini artinya MK berpolitik dengan memainkan peran yang sangat strategis," lanjut Ismail.
Meski begitu, Ismail bisa menerima pernyataan MK terkait jadwal pemilu yang telah ditetapkan dari jauh hari. Belum lagi, potensi kericuhan dan kekacauan pelaksanaan pilkada yang timbul akibat pembacaan putusan itu.
"Ini suatu hal yang bisa dimengerti," jelas Ismail.
Hanya saja, Ismail tak ingin MK terus membiarkan penundaan ini terus terjadi. Sebab, manajemen waktu yang tak tertiba bisa mengikis kewibawaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Putusan MK yang Diabaikan
Setara juga mencatat, selama satu tahun terakhir ada beberapa putusan MK yang tak dipatuhi penyelenggaran negara. Ismail menilai hal ini cukup mengkhawatirkan.
"Kita khawatir MK hanya menyeleggarakan ritual pengujian UU, tanpa melimpahkan keadilan kepada warga negara karena banyak putusan itu diabaikan," ungkap Ismail.
Salah satunya, kata Ismail, surat edaran yang dikeluarkan Mahkamah Agung terkait Peninjauan Kembali (PK) terpidana mati. MK saat itu mengeluarkan putusan bahwa terpidana mati boleh mengajukan PK beberapa kali. Bukannya mematuhi, kata Ismail, MA justru mengeluarkan surat edaran yang bertolak belakang dengan putusan.
"Ini adalah bentuk pembangkangan," kata Ismail.
Ismail menyamakan urgensi kasus ini dengan penunjukan Arcandra Tahar sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Penunjukan ini dinilai bahaya karena Arcandra diketahui mengantongi paspor Amerika Serikat sejak 2012.
"Pembangkangan oleh penyelenggara negara terhadap putusan MK ini lebih berbahaya dari penunjuan Arcandra yang berkewarganegaraan ganda," pungkas Ismail.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)