kekuatan Fraksi Golkar Setya Novanto saat syukuran ulang tahun Fraksi Partai Golkar ke-48 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/2/2016). Foto: Antara/Puspa P.
kekuatan Fraksi Golkar Setya Novanto saat syukuran ulang tahun Fraksi Partai Golkar ke-48 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/2/2016). Foto: Antara/Puspa P.

Kuasa Hukum Setya Novanto Apresiasi Keputusan MK

07 September 2016 22:10
medcom.id, Jakarta: Kuasa hukum Setya Novanto, Saifullah Hamid, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
 
Saifullah mengapresiasi putusan MK soal UU ITE yang menyatakan bahwa rekaman pembicaraan tidak bisa dijadikan alat bukti. Bahkan, kata dia, pelaku perekam pembicaraan bisa dikategorikan melakukan tindak pidana. 
 
"Yang merekam itu (bisa) dikenakan tindak pidana. Yang merekam dan menjadikan alat bukti di kejaksaan pun, bisa (dikenakan) tindak pidana," jelas Hamid, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/9/2016). 

Dalam putusan MK, lanjut dia, sangat jelas bahwa alat bukti itu sah apabila dilakukan oleh penegak hukum. Selain itu, kata dia, cara-cara yang dilakukannya harus mengikuti prosedur hukum yang ada.
 
Baca: MK Kabulkan Permohonan Uji Materi Pemufakatan Jahat Setya Novanto
 
MK memutuskan mengabulkan keseluruhan permohonan uji materi perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. 
 
Novanto mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
 
Novanto juga mengajukan pengujian Pasal 15 UU Tipikor karena Pasal 88 KUHP yang sebelumnya digugat hanya memuat definisi frasa pemufakatan jahat. Novanto menilai, perbaikan itu tak akan mengubah substansi karena makna pemufakatan jahat merujuk pada Pasal 88 KUHP.
 
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Arief Hidayat menilai, frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD 1945.
 
"Sepanjang tidak dimaknai pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindakan pidana," kata Arief di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan