medcom.id, Jakarta: Kasus vaksin palsu memasuki ranah hukum. Orang tua korban vaksin palsu, Maruli Silaban, 37, mendaftarkan gugatan terhadap Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur, atas kasus vaksin palsu ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Gugatan dengan Nomor perkara 302/pdt.G/2016/PN.JKT.TIM itu didaftarkan Jumat (22/7/2016) ini, lantaran orang tua pasien merasa diabaikan oleh RS Harapan Bunda.
"Setelah mengatakan akan tanggung jawab, (RS Harapan Bunda) sampai hari ini mereka tak pernah menemui kami lagi. Tiba-tiba Rabu dan Selasa kemarin mereka melakukan vaksin ulang. Dasar datanya dari mana melakukan vaksin ulang," tanya Maruli.
Kementerian Kesehatan menggelar vaksinasi ulang mulai Senin 18 Juli lalu. Vaksinasi ulang ini merupakan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan terhadap anak yang diduga menerima vaksin palsu. Untuk wilayah DKI Jakarta, ada dua tempat yang terbukti menjual dan menggunakan vaksin palsu: RS Harapan Bunda, dan Klinik Bidan Elly, Ciracas.
Tim Satgas Vaksin Palsu mencatat ada 197 balita yang mendapatkan vaksin palsu di Klinik Bidan Elly, Ciracas, Jakarta Timur. Sedangkan untuk di RS Harapan Bunda, tim masih mendata. Kemenkes mempersilakan balita-balita diluar data di atas untuk divaksin ulang.
Maruli menduga ada dugaan perbuatan melanggar hukum oleh pihak rumah sakit. Persisnya, kata dia, terdapat unsur kelalaian pihak rumah sakit. Karena berdasarkan informasi yang ia dapatkan kasus vaksin palsu ini telah muncul sejak tahun 2003.
"Pertama ada informasi yang menyebutkan vaksin ulang hanya untuk anak yang divaksinasi dari Januari sampai Juli 2016. Setelah itu muncul lagi statemen seluruh anak yang merasa divaksin di RS Harapan Bunda boleh divaksin ulang tanpa rekam medis. Kami jadi bingung. Atas dasar ini, kami sampaikan kami berusaha mendapatakan info yang akurat," kata dia.
Ronny Hakim, kuasa hukum Maruli Silaban, menjelaskan pihaknya tidak hanya menggugat RS Harapan Bunda. Ada tiga pihak lain sebagai tergugat juga.
"Jadi ada empat yang kami gugat. RS Harapan Bunda tergugat satu, dokter Muhidin tergugat dua, Menteri Kesehatan tergugat tiga dan juga BPOM tergugat empat," kata Ronny.
Ronny menjelaskan, kliennya juga menggugat dokter Muhidin. Dokter Muhidin dinilai telah lalai sehingga memberikan vaksin palsu. Selain itu, pihaknya juga menggugat Menteri Kesehatan Nila Moeloek karena tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Gugatan memuat lima poin. Semua poin itu pada intinya mendorong agar pihak rumah sakit bersikap kooperatif dan terbuka terkait vaksin palsu. "Tuntutan kami pertama, pihak RS Harapan Bunda harus membuka data sejak kapan menggunakan vaksin palsu," kata dia.
Pihak RS Harapan Bunda juga diminta bertanggungjawab melakukan medical check up dan vaksin ulang terhadap korban sesuai petunjuk dokter spesialis anak.
"Selain itu kami juga menuntut pihak RS Harapan Bunda harus bertanggungjawab atas semua biaya yang dibutuhkan," jelas Ronny.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan diminta memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasional dan atau menurunkan akreditasi RS Harapan Bunda. "Ini agar memberikan efek jera bagi rumah sakit. Agar kejadian serupa tidak lagi terulang," jelas dia.
RS Harapan Bunda dan dokter atau tenaga medis yang menjadi bagian vaksin palsu harus dihukum seberat-beratnya sesuai aturan yang berlaku. "Klien kami di sini sebagai korban merasa dirugikan, klien kami sampai meninggalkan pekerjaan karena harus bolak balik memeriksakan anaknya ke dokter karena takut dampak buruk vaksin palsu," jelas dia.
medcom.id, Jakarta: Kasus vaksin palsu memasuki ranah hukum. Orang tua korban vaksin palsu, Maruli Silaban, 37, mendaftarkan gugatan terhadap Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur, atas kasus vaksin palsu ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Gugatan dengan Nomor perkara 302/pdt.G/2016/PN.JKT.TIM itu didaftarkan Jumat (22/7/2016) ini, lantaran orang tua pasien merasa diabaikan oleh RS Harapan Bunda.
"Setelah mengatakan akan tanggung jawab, (RS Harapan Bunda) sampai hari ini mereka tak pernah menemui kami lagi. Tiba-tiba Rabu dan Selasa kemarin mereka melakukan vaksin ulang. Dasar datanya dari mana melakukan vaksin ulang," tanya Maruli.
Kementerian Kesehatan menggelar vaksinasi ulang mulai Senin 18 Juli lalu. Vaksinasi ulang ini merupakan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan terhadap anak yang diduga menerima vaksin palsu. Untuk wilayah DKI Jakarta, ada dua tempat yang terbukti menjual dan menggunakan vaksin palsu: RS Harapan Bunda, dan Klinik Bidan Elly, Ciracas.
Tim Satgas Vaksin Palsu mencatat ada 197 balita yang mendapatkan vaksin palsu di Klinik Bidan Elly, Ciracas, Jakarta Timur. Sedangkan untuk di RS Harapan Bunda, tim masih mendata. Kemenkes mempersilakan balita-balita diluar data di atas untuk divaksin ulang.
Maruli menduga ada dugaan perbuatan melanggar hukum oleh pihak rumah sakit. Persisnya, kata dia, terdapat unsur kelalaian pihak rumah sakit. Karena berdasarkan informasi yang ia dapatkan kasus vaksin palsu ini telah muncul sejak tahun 2003.
"Pertama ada informasi yang menyebutkan vaksin ulang hanya untuk anak yang divaksinasi dari Januari sampai Juli 2016. Setelah itu muncul lagi statemen seluruh anak yang merasa divaksin di RS Harapan Bunda boleh divaksin ulang tanpa rekam medis. Kami jadi bingung. Atas dasar ini, kami sampaikan kami berusaha mendapatakan info yang akurat," kata dia.
Ronny Hakim, kuasa hukum Maruli Silaban, menjelaskan pihaknya tidak hanya menggugat RS Harapan Bunda. Ada tiga pihak lain sebagai tergugat juga.
"Jadi ada empat yang kami gugat. RS Harapan Bunda tergugat satu, dokter Muhidin tergugat dua, Menteri Kesehatan tergugat tiga dan juga BPOM tergugat empat," kata Ronny.
Ronny menjelaskan, kliennya juga menggugat dokter Muhidin. Dokter Muhidin dinilai telah lalai sehingga memberikan vaksin palsu. Selain itu, pihaknya juga menggugat Menteri Kesehatan Nila Moeloek karena tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
Gugatan memuat lima poin. Semua poin itu pada intinya mendorong agar pihak rumah sakit bersikap kooperatif dan terbuka terkait vaksin palsu. "Tuntutan kami pertama, pihak RS Harapan Bunda harus membuka data sejak kapan menggunakan vaksin palsu," kata dia.
Pihak RS Harapan Bunda juga diminta bertanggungjawab melakukan medical check up dan vaksin ulang terhadap korban sesuai petunjuk dokter spesialis anak.
"Selain itu kami juga menuntut pihak RS Harapan Bunda harus bertanggungjawab atas semua biaya yang dibutuhkan," jelas Ronny.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan diminta memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasional dan atau menurunkan akreditasi RS Harapan Bunda. "Ini agar memberikan efek jera bagi rumah sakit. Agar kejadian serupa tidak lagi terulang," jelas dia.
RS Harapan Bunda dan dokter atau tenaga medis yang menjadi bagian vaksin palsu harus dihukum seberat-beratnya sesuai aturan yang berlaku. "Klien kami di sini sebagai korban merasa dirugikan, klien kami sampai meninggalkan pekerjaan karena harus bolak balik memeriksakan anaknya ke dokter karena takut dampak buruk vaksin palsu," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)