medcom.id, Jakarta: La Nyalla Mahmud Mattalitti pulang ke Tanah Air, dengan gundah. Setelah hampir dua bulan ngumpet di negeri orang, lelaki keturunan Bugis itu dijemput paksa tim Imigrasi Kemenkumham ketika menjejakkan kaki di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, akhir bulan kemarin.
La Nyalla tak pernah sampai ke rumahnya di Surabaya, Jawa Timur. Dari Bandara Soetta, Ketua Umum PSSI itu langsung dibawa ke Kejaksaan Agung, lalu diinapkan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung, Jakarta Pusat. Saat berita ini disusun, La Nyalla baru menjalani separuh dari 20 hari masa penahanan awal.
Meski diinapkan di Salemba, toh kasus La Nyalla tetap di tangan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. "Sementara penahanan di sini dulu," kata Aspidsus Kejati Jatim Made Suwarnawan, beberapa waktu silam.
La Nyalla masuk pusaran korupsi dana hibah periode 2011-2014 dari Pemerintah Provinsi Jatim. Ketua Umum Kadin Jawa Timur itu diduga membeli saham initial public offering (IPO) Bank Jatim menggunakan dana hibah sebesar Rp5 miliar pada 2012.
Ketum Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) itu ditetapkan sebagai tersangka 16 Maret 2016. Tapi, alih-alih menaati perintah konstitusi, La Nyalla justru terbang ke Malaysia, pada 17 Maret 2016. Dia juga menggugat penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Pada 12 April, PN Surabaya memenangkan gugatan La Nyalla. Toh, pria kelahiran 10 Mei 1959 itu tak mau pulang. Sebaliknya, dia meneruskan pengembaraan ke Singapura.
Kasus La Nyalla makin panas di Tanah Air. Pada 13 April 2016, Kejati Jatim kembali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka tindak pidana korupsi dana hibah. Sembilan hari kemudian, Kejati Jatim menambahkan status tersangka kasus pencucian uang kepadanya.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) La Nyalla Matalitti ketika mendatangi Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Selasa (21/4). Antara Foto/ RENO ESNIR (STR).
La Nyalla kembali menggugat penetapan itu. Pada 23 Mei, PN Surabaya kembali memenangkan La Nyala. Tak mau kalah, pada 30 Mei, Kejati Jatim kembali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka atas kasus tindak pidana pencucian uang. Ini merupakan penetapan tersangka untuk keempat kali.
Kepala Kejati Jatim Maruli Hutagalung mengendus ada yang janggal dari putusan PN Surabaya. Dia khawatir hakim PN Surabaya `masuk angin`, karena La Nyalla tak lain keponakan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. "Jadi kami bukan kalah, tapi dikalahkan."
Maruli meminta, Hatta Ali memerintahkan hakim yang menangani kasus La Nyalla bersikap profesional. Adil. Kata dia, "Jangan dilihat karena La Nyalla adalah keponakan kandung Hatta Ali."
Maruli pantas berharap begitu karena La Nyalla memastikan akan terus melawan. La Nyalla juga tak sudi melepas jabatan Ketua Umum PSSI. Musababnya, ya, karena dia merasa tak bersalah.
"Silakan dilimpahkan (ke pengadilan), kami tunggu segera," kata Fahmi Bahid, salah satu kuasa hukum La Nyalla. "Agar semua terang."
La Nyalla Matalitti keluar usai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (11/3). MI/ ROMMY PUJIANTO.
Buku Hitam Putih setebal 115 halaman yang ditulis budayawan Sam Abede Pareno merekam jejak La Nyalla. La Nyalla kecil terkenal bengal. Sering membuat ribut, bahkan pernah membawa sangkur untuk berkelahi. Begitu badungnya, orang tuanya jadi langganan dipanggil guru BP.
Pening dengan perilaku anaknya, orang tua La Nyalla pernah mengirim mantan Bendahara GM Kosgoro Jatim itu ke pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Hanya, usaha itu sia-sia. La Nyalla tetaplah La Nyalla yang kepala batu.
Tapi, masih dalam buku Sam Abede, La Nyalla tak pernah menggunakan nama besar dan kekayaan keluarga untuk menyokong hidupnya. Padahal, bapaknya, Mahmud Mattalitti, pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unair. Sedangkan kakeknya, Mattalitti, adalah saudagar Bugis-Makassar terkenal di Surabaya.
Menginjak dewasa, La Nyalla memilih tinggal di Kompleks Makam Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur. Dia bekerja serabutan di kota itu. Untuk menyambung hidup, pria yang pernah menjadi Manajer PT Airlanggatama Nusantara Sakti itu bahkan pernah menjadi sopir angkot Wonokromo-Jembatan Marah dan sopir minibus L300 Surabaya-Malang. Sampai menikah pun nasibnya belum berubah.
Di kompleks makam wali ini, La Nyalla menghimpun banyak preman. Dia mengajak para bromocorah itu lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Tak heran kalau akhirnya Komisioner PT Pelabuhan Jatim Satu itu punya ratusan pengikut setia, sampai sekarang.
Hanya, Sam Abede tak menjelaskan dalam bukunya bagaimana La Nyalla bisa mengenal banyak preman. Buku itu hanya menjelaskan La Nyalla punya kemampuan pengobatan alternatif. Kemampuan itu dia asah ketika mondok di pesantren di Bekasi. Pasiennya, macam-macam, mulai dari orang pinggiran sampai dosen. Namun, karena emoh dicap dukun, mantan Kepala Kadin Jatim itu tak melanjutkan praktiknya.
Buku Hitam Putih juga meceritakan titik awal pejalanan La Nyalla sebagai pengusaha. Semua bermula ketika bekas Ketua HIPMI Jatim itu nekat membuat pameran kreativitas anak muda pada 1989. Pameran berdana Rp150 juta yang disokong PT Maspion itu bangkrut gara-gara tak ada peserta.
Imbasnya, La Nyalla dikejar-kejar penagih hutang. Kerugian itu begitu memukul, bahkan La Nyalla yang sempat akan mengibarkan bendera putih dan bersedia mengangsur Rp250.000 per bulan.
Tapi, di tengah putus asa, La Nyalla juga melobi Maspion agar mau mengucurkan dana sebesar Rp5 juta. Dia akan memakai duit itu untuk menggelar pameran yang kelak dikenal dengan nama Surabaya Expo.
Kegiatan yang berlangsung sejak 1990 itu berkibar dan menjadi agenda tahunan sampai 2001. Dari situlah suami Muchmudah itu kemudian dikenal banyak pengusaha dan birokrat.
medcom.id, Jakarta: La Nyalla Mahmud Mattalitti pulang ke Tanah Air, dengan gundah. Setelah hampir dua bulan
ngumpet di negeri orang, lelaki keturunan Bugis itu dijemput paksa tim Imigrasi Kemenkumham ketika menjejakkan kaki di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, akhir bulan kemarin.
La Nyalla tak pernah sampai ke rumahnya di Surabaya, Jawa Timur. Dari Bandara Soetta, Ketua Umum PSSI itu langsung dibawa ke Kejaksaan Agung, lalu diinapkan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung, Jakarta Pusat. Saat berita ini disusun, La Nyalla baru menjalani separuh dari 20 hari masa penahanan awal.
Meski diinapkan di Salemba,
toh kasus La Nyalla tetap di tangan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. "Sementara penahanan di sini dulu," kata Aspidsus Kejati Jatim Made Suwarnawan, beberapa waktu silam.
La Nyalla masuk pusaran korupsi dana hibah periode 2011-2014 dari Pemerintah Provinsi Jatim. Ketua Umum Kadin Jawa Timur itu diduga membeli saham
initial public offering (IPO) Bank Jatim menggunakan dana hibah sebesar Rp5 miliar pada 2012.
Ketum Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) itu ditetapkan sebagai tersangka 16 Maret 2016. Tapi, alih-alih menaati perintah konstitusi, La Nyalla justru terbang ke Malaysia, pada 17 Maret 2016. Dia juga menggugat penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Pada 12 April, PN Surabaya memenangkan gugatan La Nyalla. Toh, pria kelahiran 10 Mei 1959 itu tak mau pulang. Sebaliknya, dia meneruskan pengembaraan ke Singapura.
Kasus La Nyalla makin panas di Tanah Air. Pada 13 April 2016, Kejati Jatim kembali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka tindak pidana korupsi dana hibah. Sembilan hari kemudian, Kejati Jatim menambahkan status tersangka kasus pencucian uang kepadanya.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) La Nyalla Matalitti ketika mendatangi Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Selasa (21/4). Antara Foto/ RENO ESNIR (STR).
La Nyalla kembali menggugat penetapan itu. Pada 23 Mei, PN Surabaya kembali memenangkan La Nyala. Tak mau kalah, pada 30 Mei, Kejati Jatim kembali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka atas kasus tindak pidana pencucian uang. Ini merupakan penetapan tersangka untuk keempat kali.
Kepala Kejati Jatim Maruli Hutagalung mengendus ada yang janggal dari putusan PN Surabaya. Dia khawatir hakim PN Surabaya `masuk angin`, karena La Nyalla tak lain keponakan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. "Jadi kami bukan kalah, tapi dikalahkan."
Maruli meminta, Hatta Ali memerintahkan hakim yang menangani kasus La Nyalla bersikap profesional. Adil. Kata dia, "Jangan dilihat karena La Nyalla adalah keponakan kandung Hatta Ali."
Maruli pantas berharap begitu karena La Nyalla memastikan akan terus melawan. La Nyalla juga tak sudi melepas jabatan Ketua Umum PSSI. Musababnya, ya, karena dia merasa tak bersalah.
"Silakan dilimpahkan (ke pengadilan), kami tunggu segera," kata Fahmi Bahid, salah satu kuasa hukum La Nyalla. "Agar semua terang."
La Nyalla Matalitti keluar usai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (11/3). MI/ ROMMY PUJIANTO.
Buku Hitam Putih setebal 115 halaman yang ditulis budayawan Sam Abede Pareno merekam jejak La Nyalla. La Nyalla kecil terkenal bengal. Sering membuat ribut, bahkan pernah membawa sangkur untuk berkelahi. Begitu badungnya, orang tuanya jadi langganan dipanggil guru BP.
Pening dengan perilaku anaknya, orang tua La Nyalla pernah mengirim mantan Bendahara GM Kosgoro Jatim itu ke pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Hanya, usaha itu sia-sia. La Nyalla tetaplah La Nyalla yang kepala batu.
Tapi, masih dalam buku Sam Abede, La Nyalla tak pernah menggunakan nama besar dan kekayaan keluarga untuk menyokong hidupnya. Padahal, bapaknya, Mahmud Mattalitti, pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unair. Sedangkan kakeknya, Mattalitti, adalah saudagar Bugis-Makassar terkenal di Surabaya.
Menginjak dewasa, La Nyalla memilih tinggal di Kompleks Makam Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur. Dia bekerja serabutan di kota itu. Untuk menyambung hidup, pria yang pernah menjadi Manajer PT Airlanggatama Nusantara Sakti itu bahkan pernah menjadi sopir angkot Wonokromo-Jembatan Marah dan sopir minibus L300 Surabaya-Malang. Sampai menikah pun nasibnya belum berubah.
Di kompleks makam wali ini, La Nyalla menghimpun banyak preman. Dia mengajak para bromocorah itu lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Tak heran kalau akhirnya Komisioner PT Pelabuhan Jatim Satu itu punya ratusan pengikut setia, sampai sekarang.
Hanya, Sam Abede tak menjelaskan dalam bukunya bagaimana La Nyalla bisa mengenal banyak preman. Buku itu hanya menjelaskan La Nyalla punya kemampuan pengobatan alternatif. Kemampuan itu dia asah ketika mondok di pesantren di Bekasi. Pasiennya, macam-macam, mulai dari orang pinggiran sampai dosen. Namun, karena
emoh dicap dukun, mantan Kepala Kadin Jatim itu tak melanjutkan praktiknya.
Buku Hitam Putih juga meceritakan titik awal pejalanan La Nyalla sebagai pengusaha. Semua bermula ketika bekas Ketua HIPMI Jatim itu nekat membuat pameran kreativitas anak muda pada 1989. Pameran berdana Rp150 juta yang disokong PT Maspion itu bangkrut gara-gara tak ada peserta.
Imbasnya, La Nyalla dikejar-kejar penagih hutang. Kerugian itu begitu memukul, bahkan La Nyalla yang sempat akan mengibarkan bendera putih dan bersedia mengangsur Rp250.000 per bulan.
Tapi, di tengah putus asa, La Nyalla juga melobi Maspion agar mau mengucurkan dana sebesar Rp5 juta. Dia akan memakai duit itu untuk menggelar pameran yang kelak dikenal dengan nama Surabaya Expo.
Kegiatan yang berlangsung sejak 1990 itu berkibar dan menjadi agenda tahunan sampai 2001. Dari situlah suami Muchmudah itu kemudian dikenal banyak pengusaha dan birokrat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ICH)