Jakarta: Penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh pemerintah dinilai hanya menjadi lips service atau sekadar janji politik tanpa tindakan nyata. Padahal yang paling penting adalah tindakan konkret untuk mengejar para pelaku dan memastikan uang negara dapat dikembalikan.
Ketua Umum HMS Center Hardjuno Wiwoho mengatakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan Kasus ini. Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI telah berhasil mengamankan aset yang diklaim senilai Rp111,2 miliar, termasuk beberapa properti.
“Meskipun demikian, langkah Satgas BLBI ini masih jauh dari cukup karena aset itu belum diuangkan artinya value-nya baru value klaim. Dan lagi, itu baru BLBI-nya, masih ada masalah obligasi rekap BLBI. Kerugian karena bayar bunga obligasi rekap ini,” kata Hardjuno kepada wartawan, Jumat, 5 Juli 2024.
Hardjuno mengungkapkan, pemerintah harus berani berhenti membayar bunga rekap yang terus menambah beban keuangan negara. Selain itu, pemerintah bisa memberikan dukungan penuh kepada Satgas BLBI untuk menuntaskan penarikan piutang negara dari para obligor BLBI.
“Dengan menekan pengeluaran bunga obligasi rekap, pemerintah dapat lebih fokus pada pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Moratorium ini juga dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara terkait kasus BLBI,” ujar dia.
Selain itu, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus ini juga dinilai sangat penting. Namun, upaya penegakan hukum ini seringkali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk lemahnya political will dan tindakan politik, sehingga perlu komitmen untuk menyelesaikan skandal BLBI secara tuntas.
“Oleh karena itu, penanganan yang serius dan transparan sangat diperlukan. Skandal BLBI adalah kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 26 tahun sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini masih jauh dari kata tuntas,” tegasnya.
Terpisah, Guru Besar Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya Suparto Wijoyo mengatakan, korupsi BLBI dan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI sudah menyakiti hati rakyat. Sebab menurutnya, hal ini telah merampas hak hidup dan masa depan mereka dengan beban bunga yang begitu tinggi.
“Para akademisi dan berbagai pihak yang berjiwa antikorupsi dapat mengelola semangat rakyat untuk memperkuat KPK dan Kejaksaan Agung. Nalar sehat berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi, kasus korupsi seperti BLBI jangan sampai diternak tanpa ditindak,” ungkap dia.
Jakarta: Penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (
BLBI) oleh pemerintah dinilai hanya menjadi
lips service atau sekadar janji politik tanpa tindakan nyata. Padahal yang paling penting adalah tindakan konkret untuk mengejar para pelaku dan memastikan uang negara dapat dikembalikan.
Ketua Umum HMS Center Hardjuno Wiwoho mengatakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan Kasus ini.
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI telah berhasil mengamankan aset yang diklaim senilai Rp111,2 miliar, termasuk beberapa properti.
“Meskipun demikian, langkah Satgas BLBI ini masih jauh dari cukup karena aset itu belum diuangkan artinya
value-nya baru
value klaim. Dan lagi, itu baru BLBI-nya, masih ada masalah obligasi rekap BLBI. Kerugian karena bayar bunga obligasi rekap ini,” kata Hardjuno kepada wartawan, Jumat, 5 Juli 2024.
Hardjuno mengungkapkan, pemerintah harus berani berhenti membayar bunga rekap yang terus menambah beban keuangan negara. Selain itu, pemerintah bisa memberikan dukungan penuh kepada Satgas BLBI untuk menuntaskan penarikan piutang negara dari para obligor BLBI.
“Dengan menekan pengeluaran bunga obligasi rekap, pemerintah dapat lebih fokus pada pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Moratorium ini juga dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara terkait kasus BLBI,” ujar dia.
Selain itu, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus ini juga dinilai sangat penting. Namun, upaya penegakan hukum ini seringkali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk lemahnya
political will dan tindakan politik, sehingga perlu komitmen untuk menyelesaikan skandal BLBI secara tuntas.
“Oleh karena itu, penanganan yang serius dan transparan sangat diperlukan. Skandal BLBI adalah kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 26 tahun sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini masih jauh dari kata tuntas,” tegasnya.
Terpisah, Guru Besar Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya Suparto Wijoyo mengatakan, korupsi BLBI dan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI sudah menyakiti hati rakyat. Sebab menurutnya, hal ini telah merampas hak hidup dan masa depan mereka dengan beban bunga yang begitu tinggi.
“Para akademisi dan berbagai pihak yang berjiwa antikorupsi dapat mengelola semangat rakyat untuk memperkuat KPK dan Kejaksaan Agung. Nalar sehat berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi, kasus korupsi seperti BLBI jangan sampai diternak tanpa ditindak,” ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)