Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan kasus korupsi tata kelola komoditas emas PT Antam sebanyak 109 ton berbeda dengan yang menjerat pengusaha properti berjuluk "crazy rich" Surabaya Budi Said (BS). Korupsi emas 109 ton itu terjadi periode 2010-2021.
"Ini kasus baru, terpisah dengan kasus Budi Said ya,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Kuntadi kepada wartawan dikutip Kamis, 30 Mei 2024.
Kejagung telah menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas emas 109 ton itu. Keenam tersangka merupakan mantan General Manager (GM) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam Tbk yang menjabat pada kurun waktu 2010-2021.
Mereka adalah inisial TK menjabat di periode 2010-2011, HN menjabat periode 2011-2013, DM menjabat periode 2013-2017. Kemudian, AH menjabat periode 2017-2019, MA menjabat periode 2019-2021, dan ID menjabat periode 2021-2022.
“Dari penaganan perkara ini kita temukan ada aktivitas manufakturing yang disalahgunakan oleh oknum-oknum dari PT Antam, yaitu para general manager tadi,” ujar Kuntadi.
Kuntadi menjelaskaan keenam tersangka bersama-sama dengan pihak swasta melakukan persekongkolan, yakni menyalahgunakan jasa manufaktur yang diselenggarakan UBPP LM. Seharusnya kegiatan manufaktur itu berupa kegiatan peleburan, pemurnian, dan pencetakan logam mulia.
Namun, kegiatan manufaktur ini tidak hanya digunakan untuk kegiatan pemurnian, peleburan, dan pencetakan oleh para tersangka. Tapi, meletakkan merek logam mulia Antam.
“Yang bersangkutan secara melawan hukum dan tanpa kewenangan telah melekatkan logam mulia milik swasta dengan merek LM Antam,” ucap Kuntadi.
Padahal, lanjut Kuntadi, para tersangka mengetahui pelekatan merek logam mulia PT Antam tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Pelekatan merek harus didahului dengan kontrak kerja serta ada perhitungan biaya yang harus dibayar karena merek logam mulia merupakan hak eksklusif dari PT Antam.
Selama sekitar 11 tahun, kegiatan ilegal ini sudah mencetak 109 ton logam mulia dengan berbagai ukuran. Kemudian, diedarkan di pasar secara bersamaan dengan logam mulia produk PT Antam yang resmi.
"Sehingga logam mulia yang bermerek secara ilegal ini telah mengerus pasar dari logam mulia milik PT Antam, sehingga kerugiannya menjadi berlipat-lipat lagi,” ungkap Kuntadi.
Kerugian negara dalam kasus ini besar. Namun masih dihitung.
Ke-6 tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Kejagung menetapkan Budi Said menjadi tersangka dalam kasus jual beli emas logam mulia PT Antam Tbk pada Kamis, 18 Januari 2024. Budi Said diduga bekerja sama dengan pegawai Antam Butik 1 Surabaya untuk membeli emas logam mulia dengan harga lebih murah dari harga yang ditentukan PT Antam Tbk.
Budi Said membeli emas dengan harga miring seolah-olah sedang ada diskon. Padahal, PT Antam Tbk tidak memberikan diskon. Untuk menutupi transaksinya tersebut, para pelaku menggunakan pola transaksi di luar mekanisme yang telah ditetapkan PT Antam Tbk.
Sehingga, PT Antam tidak bisa mengontrol keluar masuknya logam mulia dan jumlah uang yang ditransaksikan. Akibatnya, PT Antam Tbk merugi sebesar 1 ton 136 kilogram logam mulia lebih kurang setara Rp1,1 triliun.
Jakarta:
Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan
kasus korupsi tata kelola komoditas
emas PT Antam sebanyak 109 ton berbeda dengan yang menjerat pengusaha properti berjuluk "
crazy rich" Surabaya Budi Said (BS). Korupsi emas 109 ton itu terjadi periode 2010-2021.
"Ini kasus baru, terpisah dengan kasus Budi Said ya,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Kuntadi kepada wartawan dikutip Kamis, 30 Mei 2024.
Kejagung telah menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas emas 109 ton itu. Keenam tersangka merupakan mantan General Manager (GM) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam Tbk yang menjabat pada kurun waktu 2010-2021.
Mereka adalah inisial TK menjabat di periode 2010-2011, HN menjabat periode 2011-2013, DM menjabat periode 2013-2017. Kemudian, AH menjabat periode 2017-2019, MA menjabat periode 2019-2021, dan ID menjabat periode 2021-2022.
“Dari penaganan perkara ini kita temukan ada aktivitas manufakturing yang disalahgunakan oleh oknum-oknum dari PT Antam, yaitu para general manager tadi,” ujar Kuntadi.
Kuntadi menjelaskaan keenam tersangka bersama-sama dengan pihak swasta melakukan persekongkolan, yakni menyalahgunakan jasa manufaktur yang diselenggarakan UBPP LM. Seharusnya kegiatan manufaktur itu berupa kegiatan peleburan, pemurnian, dan pencetakan logam mulia.
Namun, kegiatan manufaktur ini tidak hanya digunakan untuk kegiatan pemurnian, peleburan, dan pencetakan oleh para tersangka. Tapi, meletakkan merek logam mulia Antam.
“Yang bersangkutan secara melawan hukum dan tanpa kewenangan telah melekatkan logam mulia milik swasta dengan merek LM Antam,” ucap Kuntadi.
Padahal, lanjut Kuntadi, para tersangka mengetahui pelekatan merek logam mulia PT Antam tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Pelekatan merek harus didahului dengan kontrak kerja serta ada perhitungan biaya yang harus dibayar karena merek logam mulia merupakan hak eksklusif dari PT Antam.
Selama sekitar 11 tahun, kegiatan ilegal ini sudah mencetak 109 ton logam mulia dengan berbagai ukuran. Kemudian, diedarkan di pasar secara bersamaan dengan logam mulia produk PT Antam yang resmi.
"Sehingga logam mulia yang bermerek secara ilegal ini telah mengerus pasar dari logam mulia milik PT Antam, sehingga kerugiannya menjadi berlipat-lipat lagi,” ungkap Kuntadi.
Kerugian negara dalam kasus ini besar. Namun masih dihitung.
Ke-6 tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Kejagung menetapkan Budi Said menjadi tersangka dalam kasus jual beli emas logam mulia PT Antam Tbk pada Kamis, 18 Januari 2024. Budi Said diduga bekerja sama dengan pegawai Antam Butik 1 Surabaya untuk membeli emas logam mulia dengan harga lebih murah dari harga yang ditentukan PT Antam Tbk.
Budi Said membeli emas dengan harga miring seolah-olah sedang ada diskon. Padahal, PT Antam Tbk tidak memberikan diskon. Untuk menutupi transaksinya tersebut, para pelaku menggunakan pola transaksi di luar mekanisme yang telah ditetapkan PT Antam Tbk.
Sehingga, PT Antam tidak bisa mengontrol keluar masuknya logam mulia dan jumlah uang yang ditransaksikan. Akibatnya, PT Antam Tbk merugi sebesar 1 ton 136 kilogram logam mulia lebih kurang setara Rp1,1 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)