Jakarta: Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai permohonan pengujian Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) masih belum utuh dan lengkap. Permohonan ini juga dinilai tidak masuk secara substansi.
Gugatan ini diajukan oleh tiga orang. Mereka adalah dosen UIN Jakarta Ismail Hasani, dosen Universitas Ekasakti Laurensius Arliman dan mahasiswa bernama Bayu Satrio Utomo.
“Saya menilai secara kronologis, permohonan ini tidak masuk secara substansinya,” ungkap Arief dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 5 September 2022.
Menurut Arief, permohonan pemohon masih belum lengkap. Pasalnya pemberi kuasa, Laurensius belum menandatangani permohonan.
“Di sini, pemberi kuasanya Laurensius belum tanda tangan, pemberi kuasa kok belum tanda tangan. Nanti dilengkapi,” tegasnya.
Kemudian, Arief juga meminta pemohon untuk melengkapi tanda tangan dari 30 orang penerima kuasa. Arief menyayangkan dari 30 orang penerima kuasa, hanya empat orang yang menandatangani dokumen permohonan. Bahkan, Arief menyebut ada kesan dari pemohon yang tak menghormati MK selaku pemilik kewenangan keputusan.
“Lalu yang perlu diperbaiki adalah memperjelas kedudukan hukum pemohon karena untuk bisa diberikan, kedudukan hukum dalam pengajian materiil dan formil ada perbedaan. Tolong anda betul-betul menguraikan supaya bisa memberikan kedudukan hukum kepada pemohon,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon agar lebih cermat terkait UU yang digugat. “MK meminta supaya tatacara pembentukan UU omnibus itu harus diberikan pondasi apakah itu UU tersendiri, itu adalah pilihan UU. Coba dilihat kembali,” ungkap Suhartoyo.
Ada tiga hal yang menjadi fokus tuntutan para pemohon. Yang pertama, metode omnibus cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Lalu, yang kedua, minimnya akomodasi terhadap proses deliberatif. Yang terkahir, proses penyusunannya cenderung abai terhadap ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma.
"Ketiga sisi lemah metode omnibus ini setidaknya telah tampak dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja,” terang pemohon.
Jakarta:
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai permohonan pengujian Undang-Undang (UU) tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) masih belum utuh dan lengkap. Permohonan ini juga dinilai tidak masuk secara substansi.
Gugatan ini diajukan oleh tiga orang. Mereka adalah dosen UIN Jakarta Ismail Hasani, dosen Universitas Ekasakti Laurensius Arliman dan mahasiswa bernama Bayu Satrio Utomo.
“Saya menilai secara kronologis, permohonan ini tidak masuk secara substansinya,” ungkap Arief dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 5 September 2022.
Menurut Arief, permohonan pemohon masih belum lengkap. Pasalnya pemberi kuasa, Laurensius belum menandatangani permohonan.
“Di sini, pemberi kuasanya Laurensius belum tanda tangan, pemberi kuasa kok belum tanda tangan. Nanti dilengkapi,” tegasnya.
Kemudian, Arief juga meminta pemohon untuk melengkapi tanda tangan dari 30 orang penerima kuasa. Arief menyayangkan dari 30 orang penerima kuasa, hanya empat orang yang menandatangani dokumen permohonan. Bahkan, Arief menyebut ada kesan dari pemohon yang tak menghormati MK selaku pemilik kewenangan keputusan.
“Lalu yang perlu diperbaiki adalah memperjelas kedudukan hukum pemohon karena untuk bisa diberikan, kedudukan hukum dalam pengajian materiil dan formil ada perbedaan. Tolong anda betul-betul menguraikan supaya bisa memberikan kedudukan hukum kepada pemohon,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon agar lebih cermat terkait UU yang digugat. “MK meminta supaya tatacara
pembentukan UU omnibus itu harus diberikan pondasi apakah itu UU tersendiri, itu adalah pilihan UU. Coba dilihat kembali,” ungkap Suhartoyo.
Ada tiga hal yang menjadi fokus tuntutan para pemohon. Yang pertama, metode omnibus cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Lalu, yang kedua, minimnya akomodasi terhadap proses deliberatif. Yang terkahir, proses penyusunannya cenderung abai terhadap ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma.
"Ketiga sisi lemah metode omnibus ini setidaknya telah tampak dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja,” terang pemohon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)