Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selesai memeriksa Bupati Kaur, Bengkulu, Gusril Pausi. Dia dimintai keterangan terkait pemberian rekomendasi usaha lobster untuk PT Dua Putra Perkasa (DPP).
"Dikonfirmasi terkait rekomendasi usaha lobster dan surat keterangan asal benih lobster di Kabupaten Kaur, Bengkulu, untuk PT DPP yang diajukan oleh tersangka SJT (Direktur PT DPP Suharjito)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Selasa, 19 Januari 2021.
Penyidik juga mengonfirmasi hal yang sama kepada Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Lembaga Antikorupsi mendalami rekomendasi usaha yang diberikan Rohidin ke PT DPP atas usulan Suharjito.
KPK menduga ada pihak lain yang menerima uang haram untuk melegalkan izin usaha benih lobster. Suharjito diduga tak hanya menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk melancarkan perizinan usaha tambak benih lobsternya di beberapa daerah pesisir Indonesia.
Dalam kasus ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga sebagai penerima suap, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca: Gubernur Bengkulu Irit Bicara Usai Diperiksa KPK
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) selesai memeriksa Bupati Kaur, Bengkulu, Gusril Pausi. Dia dimintai keterangan terkait pemberian rekomendasi usaha lobster untuk PT Dua Putra Perkasa (DPP).
"Dikonfirmasi terkait rekomendasi usaha lobster dan surat keterangan asal benih lobster di Kabupaten Kaur, Bengkulu, untuk PT DPP yang diajukan oleh tersangka SJT (Direktur PT DPP Suharjito)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Selasa, 19 Januari 2021.
Penyidik juga mengonfirmasi hal yang sama kepada Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Lembaga Antikorupsi mendalami rekomendasi usaha yang diberikan Rohidin ke PT DPP atas usulan Suharjito.
KPK menduga ada pihak lain yang menerima uang haram untuk melegalkan izin usaha benih lobster. Suharjito diduga tak hanya menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo untuk melancarkan perizinan usaha tambak benih lobsternya di beberapa daerah pesisir Indonesia.
Dalam kasus ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga sebagai penerima suap, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca:
Gubernur Bengkulu Irit Bicara Usai Diperiksa KPK
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada
monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)