medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengabulkan permohonan agar pejabat pelanggar sumpah jabatan disanksi. Majelis hakim berpendapat dalil yang diajukan pemohon dan uraian kerugian konstitusionalitas yang dialami pemohon tidak jelas.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat di ruang sidang, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (11/11/2015).
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan pemohon hanya menerangkan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia namun tidak jelas menguraikan kerugian hak konstitusionalnya akibat diberlakukan sejumlah undang-undang yang dimohonkan tersebut.
MK, kata Suhartoyo, telah meminta Sudana memperbaiki permohonannya, pada 20 Agustus 2015 melalui persidangan jarak jauh. Akan tetapi hingga sidang perbaikan pada 2 September 2015, pemohon tak kunjung mengajukan perbaikan yang signifikan.
"Padahal sudah diberikan nasihat," ujar dia.
Dengan demikian, MK tidak memandang perlu melanjutkan pemeriksaan permohonan a quo ke tahapan lebih lanjut. Bahkan MK dengan sengaja tidak mengundang DPR, Presiden dan pihak-pihak lain yang diatur dalam Pasal 54 UU MK untuk dimintai keterangan.
Sebelumnya, seorang Warga Negara Indonesia asal Denpasar Bali, I Made Sudana merasa pejabat pelanggar sumpah jabatan mesti disanksi secara religius. Sudana mengajukan uji materi terhadap lima undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 30, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Pasal 9 ayat (1), Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 30 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 21 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Menurut Sudana, sejumlah aturan yang terkandung dalam pasal tersebut, tidak mengatur sanksi religius yang bisa diterapkan jika pejabat melanggar sumpah jabatan.
Sudana berpandangan, pelanggaran atas sumpah jabatan dapat dijatuhi sanksi baik secara vertikal kepada Tuhan yang Maha Esa maupun secara horizontal melalui undang-undang.
Lewat uji materi, Sudana berharap pasal-pasal tersebut mengatur soal sanksi religius. Dia mencontohkan pengaturan sanksi religius pada Pasal 87 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menambahkan frasa menerima laknat dari Allah SWT bila melanggar sumpah.
Sudana juga mengatakan, tempat dibacakannya sumpah jabatan tidak tepat. Ia berharap sumpah dibacakan dan diucapkan di rumah ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Sejak sidang perdana pada Kamis, 20 Agustus lalu, Sudana tampil tanpa didampingi kuasa hukum.
Sudana menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ia merasa tidak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan tidak adanya sanksi agama.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengabulkan permohonan agar pejabat pelanggar sumpah jabatan disanksi. Majelis hakim berpendapat dalil yang diajukan pemohon dan uraian kerugian konstitusionalitas yang dialami pemohon tidak jelas.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat di ruang sidang, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (11/11/2015).
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan pemohon hanya menerangkan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia namun tidak jelas menguraikan kerugian hak konstitusionalnya akibat diberlakukan sejumlah undang-undang yang dimohonkan tersebut.
MK, kata Suhartoyo, telah meminta Sudana memperbaiki permohonannya, pada 20 Agustus 2015 melalui persidangan jarak jauh. Akan tetapi hingga sidang perbaikan pada 2 September 2015, pemohon tak kunjung mengajukan perbaikan yang signifikan.
"Padahal sudah diberikan nasihat," ujar dia.
Dengan demikian, MK tidak memandang perlu melanjutkan pemeriksaan permohonan a quo ke tahapan lebih lanjut. Bahkan MK dengan sengaja tidak mengundang DPR, Presiden dan pihak-pihak lain yang diatur dalam Pasal 54 UU MK untuk dimintai keterangan.
Sebelumnya, seorang Warga Negara Indonesia asal Denpasar Bali, I Made Sudana merasa pejabat pelanggar sumpah jabatan mesti disanksi secara religius. Sudana mengajukan uji materi terhadap lima undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 30, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Pasal 9 ayat (1), Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 30 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 21 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Menurut Sudana, sejumlah aturan yang terkandung dalam pasal tersebut, tidak mengatur sanksi religius yang bisa diterapkan jika pejabat melanggar sumpah jabatan.
Sudana berpandangan, pelanggaran atas sumpah jabatan dapat dijatuhi sanksi baik secara vertikal kepada Tuhan yang Maha Esa maupun secara horizontal melalui undang-undang.
Lewat uji materi, Sudana berharap pasal-pasal tersebut mengatur soal sanksi religius. Dia mencontohkan pengaturan sanksi religius pada Pasal 87 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menambahkan frasa menerima laknat dari Allah SWT bila melanggar sumpah.
Sudana juga mengatakan, tempat dibacakannya sumpah jabatan tidak tepat. Ia berharap sumpah dibacakan dan diucapkan di rumah ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Sejak sidang perdana pada Kamis, 20 Agustus lalu, Sudana tampil tanpa didampingi kuasa hukum.
Sudana menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ia merasa tidak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan tidak adanya sanksi agama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)