Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia

Kurban yang Memberdayakan

12 September 2016 07:27
KURBAN merupakah ibadah berdimensi ganda. Ia mengandung makna ritual sekaligus nilai sosial. Kurban ialah ibadah ritual sekaligus ibadah sosial.
 
Dalam tataran ritual, berkurban merupakan ikhtiar menjalankan perintah Tuhan. Ia menjadi wahana untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
 
Dalam tataran sosial, berkurban ialah kesediaan mengorbankan apa yang kita miliki dan kemudian kita distribusikan kepada sesama.  Kurban pada hakikatnya ialah sebentuk keikhlasan, kesukarelaan. Berkurban mengandung makna rela melepaskan dan berbagi apa yang kita miliki dengan penuh sukacita.

Ketika banyak orang  rela dan bersukacita melepaskan apa yang mereka miliki, tak sedikit orang di negeri ini yang justru memperebutkan harta dan jabatan.
 
Celakanya, mereka memperoleh harta itu melalui korupsi. Mereka tak rela melepaskan kekayaan hasil korupsi itu sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjemput mereka.
 
Juga, celakanya, banyak orang memperebutkan jabatan dengan segala cara, dengan kecurangan. Mereka akan berusaha mempertahankan jabatan itu, tak rela melepaskannya, bila perlu bertukar dari satu jabatan ke jabatan lain.
 
Korupsi atau memperoleh jabatan dengan segala cara jelas bertentangan dengan semangat kurban. Pelaku korupsi dan pemburu jabatan seperti itu semestinya belajar dari nilai dan makna berkurban.
 
Bahwa berkurban ialah berbagi dengan penuh kesukarelaan penting kita garisbawahi. Itu karena mungkin sekali ada orang yang berkurban secara terpaksa, tanpa sukacita. Itulah orang-orang yang berkurban atas nama formalisme belaka. Mereka berkurban karena jabatan atau kedudukan mereka di masyarakat "memaksa"
mereka melakukan itu.
 
Berkurban karena rutinitas formal belaka hanya menghadirkan kebaikan sosial sesaat, tak akan menciptakan kebaikan sosial jangka panjang. Berkurban karena rutinitas formal semata tak bakal menghadirkan pemberdayaan sosial.
 
Bagaimana bisa menciptakan kebaikan sosial jangka panjang bila daging hasil kurban yang setiap Hari Raya Kurban dibagikan kepada orang miskin habis dikonsumsi dalam satu atau dua hari? Bagaimana mungkin daging kurban yang habis dikonsumsi satu atau dua hari itu bisa memberdayakan kaum papa?
 
Alih-alih memberdayakan, tata cara pembagian daging kurban tanpa kita sadari seperti mendemonstrasikan kemiskinan. Bayangkan, orang-orang miskin berebut daging kurban sampai ada yang celaka karena terinjak-injak.
 
Kita perlu memikirkan dan mempraktikkan metode distribusi kurban yang lebih beradab. Alangkah beradabnya bila kita yang mendatangi dan membagikan daging kepada mereka yang berhak menerimanya, bukan mereka yang mendatangi kita untuk mengambil jatah kurban.
 
Lebih dari itu, kita harus merumuskan lalu melaksanakan tata cara distribusi kurban yang memberdayakan, yang membawa kebaikan sosial jangka panjang. Mungkinkah, misalnya, bila kita tidak membagikan daging kurban tetapi menjualnya dan uang hasil penjualan kita distribusikan kepada kaum
papa dalam bentuk beasiswa pendidikan atau pinjaman untuk modal usaha?
 
Kita berkurban dalam ruang sosial. Oleh karena itu, kebaikan sosial dari kurban itulah yang semestinya kita perjuangkan lebih dahulu dan lebih keras.
 
Semakin besar kebaikan atau pemberdayaan sosial yang kita ciptakan dari kurban semestinya semakin lempang pula jalan kita mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Begitulah semestinya kita melihat hubungan ibadah ritual dan ibadah sosial dalam kurban.
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan