medcom.id, Makkah: jamaah suami isteri terlihat tampak kebingungan di perempatan lampu merah yang berjarak sekitar 500 meter dari Masjidil Haram, Makkah, Jumat (19/9).
Keduanya tidak memakai identitas jamaah haji Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama seperti gelang identitas. Mereka hanya menggunakan ID Card yang dikalungkan dengan bertuliskan PT Arroyan Tour and Travel.
Saat petugas haji Indonesia bertanya tempat tinggal, keduanya hanya menjawab tinggal di sekitar Masjidil Haram. Namun dia tidak menjelaskan lebih detail dan mengaku bahwa tempat tinggalnya seperti rumah penampungan.
Karena belum jelas lokasi tempat tinggal mereka, kedua jamaah haji Indonesia yang berasal dari Jawa Timur itu langsung dibawa ke kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah.
Ternyata sepasang suami ini termasuk jamaah haji non kuota. Tapi mereka tidak tahu termasuk jamaah haji non kuota yang tidak terdata di Kementerian Agama maupun Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).
"Saya kebetulan ditawari oleh Pak Kyai untuk menunaikan ibadah haji dan bisa berangkat tahun ini dengan membayar Rp80 juta per orang. Waktu itu kami membayar Rp160 juta," ungkap sang suami yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Ayah dari delapan anak ini menceritakan, ia mengurus visa selama tiga bulan. Setelah selesai, enam bulan lalu, mereka lalu dipastikan bakal naik haji oleh pengelola travel.
Mereka akhirnya berangkat dari Bandara Juanda Surabaya pada Kamis (18/9). Mereka jalan bersama rombongan yang berisi 18 jamaah.
Di rombongan itu tak ada pembimbing haji sama sekali, apalagi petugas kesehatan. Dari Juanda pesawat yang ditumpangi ke Singapura, kemudian dari Singapura ke Abudhabi.
Setelah dari Abudhabi terbang ke Jeddah. Sesampainya di Jeddah rombongan suami isteri ini dijemput oleh bus kecil yang menuju rumah di Makkah yang yang mereka sebut milik seorang kyai. Setelah tiba di rumah kyai, mereka lalu dibawa ke penginapan.
Tim dari Seksi Perlindungan PPIH lalu mencari penginapan kedua jamaah ini. Ternyata penginapan pasangan jamaah haji tersebut masuk gang di sekitar Makam Ma'la dan dekat Masjid Jin. Saat mau masuk ke dalam penginapan tampak dari luar hanya sebuah pintu besi. Untuk menuju ke kamar, melewati lorong kecil bertangga dan bau kotoran.
Kamar tak layak sama sekali, hanya ditutup kain korden dan satu kamar berupa los yang berisi delapan tempat tidur saling berdempetan. Kamar tak ber-AC, hanya kipas angin, kasurnya tipis. Kamar mandi hanya satu ada di luar kamar.
Sumber di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah memastikan kedua jamaah dipastikan ilegal. "Ada dua jalur masuknya jamaah haji seperti itu. Pertama dari jalur umal (pekerja). Kedua dari jalur calling visa (visa undangan dari Kerajaan Arab Saudi)," katanya.
Jalur pekerja biasanya dilakukan dengan memanipulasi visa pekerja. "Misalnya, jika ada perusahaan di Arab yang butuh pekerja migran, peluang ini dimanfaatkan. Akhirnya, jamaah masuk pakai visa pekerja dan diproses di terminal internasional Jeddah (bukan terminal haji)," katanya.
Biasanya, jamaah dengan visa ini masuk sebelum musim haji tiba. Mereka menyusup ke Makkah menghindari pemeriksaan identitas oleh aparat keamanan setempat. Jika tertangkap, mereka langsung dideportasi dan dilarang masuk ke Arab Saudi selama 5-10 tahun. Menjelang musim haji, aparat memang melakukan pengamanan ketat untuk menangkap jamaah ilegal.
Lalu jalur masuk kedua merupakan penyelewengan dari undangan pihak Saudi Arabia, baik kepada ormas Islam ataupun TNI. "Visa undangan untuk ormas Islam ini yang kemudian sering dijual ke jamaah," katanya.
Namun saat berada di Arab Saudi, jamaah-jamaah seperti ini kebanyakan hidup terlantar karena tidak ada yang menjamin fasilitas. Bahkan mereka terkadang menumpang fasilitas yang diberikan kepada jamaah haji yang diberangkatkan oleh Kemenag.
"Mereka menumpang bus shalawat (bus gratis bagi jamaah haji sebagai transportasi dari pemondokan ke Masjidil Haram). Bahkan mereka juga menumpang di tenda jamaah saat wukuf di Arafah," kata seorang petugas haji.
medcom.id, Makkah: jamaah suami isteri terlihat tampak kebingungan di perempatan lampu merah yang berjarak sekitar 500 meter dari Masjidil Haram, Makkah, Jumat (19/9).
Keduanya tidak memakai identitas jamaah haji Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama seperti gelang identitas. Mereka hanya menggunakan
ID Card yang dikalungkan dengan bertuliskan PT Arroyan Tour and Travel.
Saat petugas haji Indonesia bertanya tempat tinggal, keduanya hanya menjawab tinggal di sekitar Masjidil Haram. Namun dia tidak menjelaskan lebih detail dan mengaku bahwa tempat tinggalnya seperti rumah penampungan.
Karena belum jelas lokasi tempat tinggal mereka, kedua jamaah haji Indonesia yang berasal dari Jawa Timur itu langsung dibawa ke kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah.
Ternyata sepasang suami ini termasuk jamaah haji non kuota. Tapi mereka tidak tahu termasuk jamaah haji non kuota yang tidak terdata di Kementerian Agama maupun Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).
"Saya kebetulan ditawari oleh Pak Kyai untuk menunaikan ibadah haji dan bisa berangkat tahun ini dengan membayar Rp80 juta per orang. Waktu itu kami membayar Rp160 juta," ungkap sang suami yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Ayah dari delapan anak ini menceritakan, ia mengurus visa selama tiga bulan. Setelah selesai, enam bulan lalu, mereka lalu dipastikan bakal naik haji oleh pengelola travel.
Mereka akhirnya berangkat dari Bandara Juanda Surabaya pada Kamis (18/9). Mereka jalan bersama rombongan yang berisi 18 jamaah.
Di rombongan itu tak ada pembimbing haji sama sekali, apalagi petugas kesehatan. Dari Juanda pesawat yang ditumpangi ke Singapura, kemudian dari Singapura ke Abudhabi.
Setelah dari Abudhabi terbang ke Jeddah. Sesampainya di Jeddah rombongan suami isteri ini dijemput oleh bus kecil yang menuju rumah di Makkah yang yang mereka sebut milik seorang kyai. Setelah tiba di rumah kyai, mereka lalu dibawa ke penginapan.
Tim dari Seksi Perlindungan PPIH lalu mencari penginapan kedua jamaah ini. Ternyata penginapan pasangan jamaah haji tersebut masuk gang di sekitar Makam Ma'la dan dekat Masjid Jin. Saat mau masuk ke dalam penginapan tampak dari luar hanya sebuah pintu besi. Untuk menuju ke kamar, melewati lorong kecil bertangga dan bau kotoran.
Kamar tak layak sama sekali, hanya ditutup kain korden dan satu kamar berupa los yang berisi delapan tempat tidur saling berdempetan. Kamar tak ber-AC, hanya kipas angin, kasurnya tipis. Kamar mandi hanya satu ada di luar kamar.
Sumber di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah memastikan kedua jamaah dipastikan ilegal. "Ada dua jalur masuknya jamaah haji seperti itu. Pertama dari jalur
umal (pekerja). Kedua dari jalur
calling visa (visa undangan dari Kerajaan Arab Saudi)," katanya.
Jalur pekerja biasanya dilakukan dengan memanipulasi visa pekerja. "Misalnya, jika ada perusahaan di Arab yang butuh pekerja migran, peluang ini dimanfaatkan. Akhirnya, jamaah masuk pakai visa pekerja dan diproses di terminal internasional Jeddah (bukan terminal haji)," katanya.
Biasanya, jamaah dengan visa ini masuk sebelum musim haji tiba. Mereka menyusup ke Makkah menghindari pemeriksaan identitas oleh aparat keamanan setempat. Jika tertangkap, mereka langsung dideportasi dan dilarang masuk ke Arab Saudi selama 5-10 tahun. Menjelang musim haji, aparat memang melakukan pengamanan ketat untuk menangkap jamaah ilegal.
Lalu jalur masuk kedua merupakan penyelewengan dari undangan pihak Saudi Arabia, baik kepada ormas Islam ataupun TNI. "Visa undangan untuk ormas Islam ini yang kemudian sering dijual ke jamaah," katanya.
Namun saat berada di Arab Saudi, jamaah-jamaah seperti ini kebanyakan hidup terlantar karena tidak ada yang menjamin fasilitas. Bahkan mereka terkadang menumpang fasilitas yang diberikan kepada jamaah haji yang diberangkatkan oleh Kemenag.
"Mereka menumpang bus shalawat (bus gratis bagi jamaah haji sebagai transportasi dari pemondokan ke Masjidil Haram). Bahkan mereka juga menumpang di tenda jamaah saat wukuf di Arafah," kata seorang petugas haji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JCO)